Satu.Tujuh

912 109 0
                                    

"Satu suap aja ya, Den.." Mbok Parni terus saja berusaha untuk memasukkan satu sendok bubur nasi ke dalam mulut anak majikkannya itu.

"Enggak!" Dafa memelotot. Ia menepis tangan Mbok Parni, hingga mangkok itu terjatuh, dan isinya berhamburan mengotori karpet di kamarnya.

Dengan sabar Mbok Parni membersihkannya. Baginya ia tidak apa-apa jikalau harus membersihkan puluhan kali karpet di kamar ini.

Ketimbang harus melihat Dafa sampai jatuh sakit, karena tidak mau makan sedikitpun.

"Dafa..."

Dafa melirik sekilas. Lalu ia kembali memusatkan perhatiannya pada langit-langit kamarnya.

"Lihat yang Om bawa ini..."

Dafa melirik lagi. Mimik wajahnya agak berubah sedikit. Namun ia tetap pada pendiriannya. Tidak akan mudah terbujuk oleh rayuan dari pria itu!

"Ada cokelat -- es krim vanila -- dan satu set kuas serta cat air..."

"Sudah cukup, Mas Danu!" Masuk-masuk Anindita langsung emosi. "Biar saja anak susah diatur itu, sakit!"

"Anindita, tolonglah..."

Anindita menghela nafas. "Aku sudah menuruti apa kemauannya. Tapi anak itu malah ngelunjak, Mas!"

"Aku gak mau makan! Pokoknya aku mau pindah sekolah!"

"Dengar sendiri kan, Mas?!! Makin lama permintaan anak itu makin aneh saja!"

"Jelek dasar!!"

"Kamu mulai berani sama Bunda ya!?"

"Bodo..!" Dafa memiringkan tubuhnya. Memunggungi bundanya dan Danu.

Meskipun saat ini dia merasakan lapar sekali, tapi ia harus terus menahannya. Lebih baik dia sakit dan masuk rumah sakit, daripada harus kembali ke sekolah itu lagi.

Cklek..

"Dafa..."

Mendengar suara Danu yang cuma sendirian, dia langsung bangun dan berbalik. Mengedarkan pandangannya, memastikan kalau wanita menyebalkan yang dipanggilnya 'bunda' itu, sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Danu merasa kasihan sekali saat melihat wajah Dafa yang begitu pucat, begitu juga dengan tubuhnya yang kurus dan lemah.

"Maafin Kinno ya.."

Dafa menggeleng. "Aku tidak bisa memaafkannya Om Danu. Kinno sudah jahat sekali padaku."

Danu menghela nafas. Ia bisa memahami apa yang dialami oleh Dafa. Mungkin, jika ia berada di posisi yang sama seperti Dafa pun, dia tidak akan semudah itu untuk memaafkan Kinno.

"Tapi aku tidak marah sama Om Danu.."

"Sungguh?" Mata Danu membulat.

Dafa mengangguk antusias. "Om Danu itu orang yang baik..."

"Kalau begitu, sekarang Dafa makan dulu ya.."

Dafa menggeleng. "Aku makan es krim sama cokelat aja ya..."

"Boleh, tapi harus makan nasi dulu ya.."

Wajah Dafa berubah cemberut kembali. "Kalau gitu aku mau pindah sekolah aja deh.."

"Boleh. Tapi harus makan dulu ya.."

"Beneran boleh, Om Danu?!!"

Danu mengangguk seraya memegang kepala Dafa. "Memangnya Dafa mau pindah ke sekolah yang mana, hmmm...?"

"Ke SMK Ellite Rovario dong, Om..!"

Danu agak sedikit terkejut mendengarnya. Dia tahu karena hanya hitungan bulan atau bahkan minggu lagi, sekolah itu akan rata dengan tanah selamanya.

"Aku mau makan deh, asal boleh pindah sekolah ya, Om.."

Danu akhirnya mengangguk. "Besok Om akan bicara sama Bunda. Oke!?"

Dafa langsung berdiri dan melompat-lompat di atas kasurnya. Jika dua hati kemarin adalah hari terburuk baginya, karena ia harus melancarkan aksi gerakan mogok makan dan bicara, namun pada hari ini, semua usaha konyolnya itu akhirnya membuahkan hasil juga.

"Yeee -- aku pindah sekolah..!! Horeee...!! Tunggu aku ya teman-teman...!!"

#####

Danu baru saja turun dari mobilnya, dan hendak akan menaiki lift dari basement yang akan membawanya naik ke lantai 15 dimana ruang kerjanya berada. Namun ponselnya berdering. Mbok Parni memberikan sebuah kabar buruk yang sungguh sangat tak terduga.

Dengan langkah tergesa ia kembali menuju mobilnya. Menghubungi sekertaris pribadinya untuk membatalkan semua meeting hari ini dan menjadwalnya ulang.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, ia terus mencoba menghubungi Anindita. Namun usahanya itu sia-sia. Karena Anindita sama sekali tak menjawab panggilan darinya itu.

Begitu sampai di rumah sakit, ia langsung bertanya pada suster, dimanakan pasien bernama Dafa Ardiansyah yang baru saja masuk pagi ini.

Pikiran Danu sendiripun menjadi tak karuan. Padahal malam tadi, ia dan Dafa baru saja menghabiskan waktu bersama dengan makan es krim sambil menonton video ikan lumba-lumba yang sudah diputar ribuan kali oleh Dafa.

"Anindita.."

Wanita bertubuh sedang itupun langsung memeluk Danu dengan air mata berlinangan.

"Apa yang terjadi dengannya?"

"Aku juga gak tahu, Mas --- Pagi tadi --- Mbok Parni menemukan Dafa sudah pingsan di atas sajadahnya..."

Danu mendekati tubuh Dafa yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Wajah anak laki-laki itu begitu pucat sekali. Bahkan detak jantungnya pun lemah dan cenderung tak stabil.

"Ini adalah yang ketiganya, Mas..."

"Ketiga kalinya?" Danu terhenyak. "Apa maksudmu, Anindita?"

Anindita menghapus air matanya. Ia kembali duduk di sebelah anaknya itu sambil memegangi tangannya.

"Dafa juga pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dan dia baru terbangun sebulan setelahnya.."

"Kenapa kau baru memberitahuku?!!"

"Aku juga bingung, Mas. Karena Dokter pun tidak tahu apa penyebab pastinya.." Anindita tak bisa mengontrol emosinya. "Tidak ada yang tahu apa penyakitnya.."

"Kita bawa saja ke Singapura! Aku yakin pasti dokter disana tahu penyebabnya...!"

Anindita menggeleng lemah. "Hanya ada satu cara untuk bisa membangunkannya, Mas.."

"Apa itu, Anindita...?"

"Tidak!! Aku tidak akan mungkin melakukannya.." Jawab Anindita tegas. "Jika dia ingin bermain-main denganku, maka aku juga akan bermain dengannya..."

#####

GrowingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang