PROLOG

12.4K 484 87
                                    

Pertemuan pertama kita mengesahkan sebuah kisah yang bahkan belum resmi dimulai.

****

Hujan, habis mandi, jaket basah, dan kemah di bukit. Perpaduan yang sempurna untuk Alora yang saat ini kedinginan setengah mati. Gadis itu tak membawa baju lengan panjang karena pikirnya dia bisa menghangatkan diri menggunakan jaket.

Alora memeluk lengannya berusaha menghangatkan diri. Gadis itu benar-benar kedinginan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Alora memang tak tahan dingin. Selama di perkemahan ini, Alora belum merasa kedinginan karena selalu mengenakan jaket. Baru kali ini gadis itu kedinginan sampai menggigil begini.

"Lor, ambil makanan di ruang panitia sana mumpung belum deres banget ujannya," pinta Viola sambil memasukkan pakaian kotornya ke dalam ransel besar. "Gue baru mandi masa basah-basahan lagi. Entar masuk angin."

Alora melengos pelan. "Gue juga baru mandi, Vi."

"Ambil makanan bentar doang. Sana."

Beginilah nasib jadi pendiam yang tak bisa menolak. Mau tak mau Alora bangkit dari duduknya. Gadis itu mengenakan sendalnya yang tersusun di belakang tenda. Semoga saja dirinya tidak sakit karena hujan-hujanan begini.

Di luar hampir tidak ada orang. Hanya beberapa panitia yang masih keluyuran menggunakan jas hujan dan juga beberapa peserta jumpa karya yang baru selesai mandi. Tapi di lingkungan perempuan benar-benar tidak ada peserta yang berkeliaran. Semuanya memilih menghangatkan diri di dalam tenda. Untung saja tenda tidak bocor karena sudah dilapisi terpal. Kalau saja tenda bocor, mungkin mereka akan mengungsi di barak.

Alora melangkah menuju meja panitia sambil menahan dingin. Ia mulai menggigil. Alora memang mau-mau saja jika disuruh melakukan apa-apa. Tapi tak seharusnya gadis itu disuruh mengambil makanan di saat dingin seperti ini kan?

Alora Helsa memang begitu. Entah dengan kata apa menggambarkan sifatnya. Yang jelas, gadis itu selalu mendahulukan kepentingan orang lain, bukan kepentingannya. Seperti saat ini. Ia tahu teman-temannya butuh makan malam, sedangkan dirinya butuh menghangatkan diri dalam tenda. Tapi ia memilih mengambil makanan daripada menghangatkan diri di tenda.

Alora memang satu sangga dengan gadis-gadis cantik sekolahnya—SMA Bhinneka— yang sudah jelas tidak akan mau keluar saat hujan begini. Takut rambut rusaklah, bedak lunturlah, ah sudahlah.

Alora baru saja berbalik setelah mengambil makanan di ruang panitia ketika hujan turun dengan derasnya. Gadis itu mendesah pelan. Pikiran itu kembali berkecamuk dalam benaknya.

Teman-temannya butuh makanan, tapi dirinya tidak mungkin menerabas hujan yang begitu deras seperti ini.

Jika kalian akan memilih berteduh sejenak baru kembali ke tenda untuk mengantar makanan ini, maka berbeda dengan Alora. Sejak kecil dia selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Maka pilihan Alora jatuh pada : menerabas hujan deras dan mengantar makanan ini pada teman-temannya.

Lagi pula kalau tidak mengantar, gadis-gadis cantik tak berperasaan itu akan mengomel padanya.

Alora menghela napas dalam-dalam, berdoa dalam hati agar dia tidak sakit nantinya.

Baru satu langkah keluar dari ruang panitia, lengan Alora ditarik. Gadis itu jadi mundur, kembali masuk ke ruang panitia.

"Lo mau ke mana?" Suara serak dalam itu menandakan bahwa yang bertanya adalah seorang laki-laki.

Alora mengangkat wajah menatap cowok itu. Sungguh, cowok ini tampan sekali!

"G-gue mau anter makanan untuk temen-temen di tenda."

Cowok itu mengangkat alis. "Hujan-hujanan begini?" Alora mengangguk begitu saja. "Entar lo sakit gimana? Mending tunggu sini bentar sampe reda dikit, baru lo ke tenda."

Alora menggeleng. "Gue kuat kok." Gadis itu tidak mencoba meyakinkan lelaki tampan di hadapannya ini. Alora berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Cowok itu menghela napas dalam. Sepertinya mulai mengerti tabiat Alora. Cowok itu melepas jaket yang ia kenakan, membentangnya di atas kepala mereka. "Ayo gue anter."

Alora terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Keduanya melangkah dengan cepat menuju tenda Alora. Di jarak sedekat ini, Alora bisa mencium aroma maskulin cowok itu meski bajunya sudah basah oleh air hujan.

Di jarak sedekat ini pula cowok itu bisa melihat wajah pucat Alora. Cowok itu menghela napas pelan. Alora benar-benar keras kepala. Lihat, dirinya sudah sepucat itu, tapi masih memikirkan teman-temannya yang lain.

"Makasih ya," ucap Alora begitu keduanya sampai di depan tenda sangga Alora.

Cowok itu mengangguk. Tangannya terulur menahan Alora yang sudah ingin masuk ke tendanya. Cowok itu mengenakan jaketnya pada bahu Alora. "Muka lo pucet banget. Pake aja. Entar kasih ke gue abis pensi."

Alora tersentak kecil. "Eh jangan. Entar lo kedinginan gimana? Gue gapapa kok."

"Gue cowok, tahan dingin. Lo aja yang pake biar gak sakit." Cowok itu tersenyum.

Senyum itu benar-benar menawan, membuat jantung Alora berdegup lebih kencang. Gadis itu tersenyum kikuk. "Ah, makasih ya. Nama lo siapa? Biar gue gampang kembaliinnya."

Cowok itu mengulurkan tangan. "Bryan Ivander, SMA Cendekia."

****



A.N :
Hi guys! Aku kembali dengan cerita baru semoga suka ya:)

Jangan lupa voment dan share. God bless💕

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang