ENAM PULUH DELAPAN

1.5K 116 33
                                    

Bukan masalah mau tidak maunya. Tapi bisa tidak bisanya. Aku sih mau-mau saja melupakan dia. Tapi aku sungguh tidak bisa. Mungkin semesta memang sudah menakdirkanku untuk hanya merindukannya tanpa harus mengukir kisah dengannya.

****
eh masih ada yg melek gak? komen dong kalo masih

****

"Cek mic satu dua tiga...."

Adit dan Hanifah yang ditunjuk sebagai MC pentas seni malam ini sibuk mengecek microphone. Adit memang dari SMP sering menjadi MC di acara apa pun. Makanya dalam kegiatan ini ia juga ditunjuk oleh Bryan menjadi MC.

Sebenarnya Bryan rindu suasana pensi ketika jumpa karya kemarin, makanya ia menyuruh Adit menjadi MC. Itulah alasan sebenarnya, selain alasan utama yang diungkapkan Bryan kepada teman-teman satu pangkalannya.

Bagaimana Bryan tidak rindu dengan suasana pensi? Pensi—apalagi dalam suasana pramuka—membuat Bryan mengingat bagaimana cantiknya gadis itu ketika bermain gitar sambil menyanyi di puncak pentas seni jumpa karya kemarin. Sulit rasanya untuk menghilangkan Alora Helsa dari pikirannya.

Dulu ketika putus daari Naya, Bryan sama sekali tidak merasa kehilangan. Hari pertama putus, Bryan memang sempat sedikit kesepian karena tidak ada lagi Naya yang merecokinya. Tapi di hari kedua, cowok itu sudah biasa saja.

Tapi dengan Alora semuanya berbeda. Tepat di detik ketika Bryan melihat foto yang dikirimkan Karin, cowok itu merasa hatinya benar-benar hancur. Tapi ini bukan rasa cemburu. Bryan lebih merasa ditampar dengan apa yang dilihatnya saat itu.

Bayangkan saja. Kamu sudah dekat berbulan-bulan dengan seseorang, menjadikannya sebagai satu-satunya orang spesial dalam hidupmu, dan selalu berusaha untuk membuatnya bahagia. Semua orang mengatakan bahwa ia juga menyukaimu. Tapi ternyata, dia juga dekat dengan orang lain. Apa rasanya tidak menyakitkan?

"Bryan!"

Lamunan Bryan buyar ketika ada yang memanggilnya. Cowok itu menoleh, mendapati Reva memanggilnya. "Kenapa, Rev?"

"Ifah nanyain rundown acaranya udah bener apa belum. Lo belum cek kata dia."

"Oke gue samperin dia. Makasih, Rev." Bryan melangkah menghampiri Hanifah dan Adit yang duduk di tepi panggung. Keduanya tampak sedang membaca selembar kertas sambil komat-kamit tak jelas.

"Mana rundown acaranya?" tanya Bryan. Cowok itu duduk di sebelah Adit.

Hanifah menoleh, lalu memberikan kertas yang dipegangnya kepada Bryan. "Tadi gue udah nanya Kak Prita, kata dia udah bener. Tapi disuruh nanya ke elo juga. Takutnya gak sesuai sama lo."

Bryan menerima kertas pemberian Hanifah, lalu membacanya dalam hati. Cowok itu diam beberapa saat lalu membuka suara. "Gini aja gapapa. Nanti lo berdua tambahin yang lucu-lucu dah biar gak garing. Biar mereka juga gak ngantuk nontonin pensi."

Hanifah dan Adit mengangguk. "Oke, aman," ucap Hanifah. "Gue makan duluan ya." Gadis itu lalu melangkah meninggalkan Adit dan Bryan setelah keduanya mengangguk, mempersilahkan.

"Der," bisik Adit. "Lo mau ngasih special performance gak? Alora tampil loh nanti."

Bryan mengangkat alis. "Gue udah tau. Yang ngurus data peserta kan gue."

Adit mendengus. "Gue nanya lo mau ngasih special performance atau enggak. Bukan nanya lo tau gak kalo Alora tampil nanti," cibirnya. "Kalo soal Alora tampil mah gue yakin lo emang udah tau. Lo kan hapalin dia tanding di bidang apa aja."

Bryan merutuk. Kadang kesal juga punya teman yang bisa tahu isi kepalanya, seperti Adit. Bryan jadi tidak bisa menyembunyikan apa pun dari sobatnya itu. Apalagi Adit punya mulut yang suka asal ceplos. Ingin sekali Bryan mengikat mulut Adit dengan tali pramuka. Pakai simpul mati kalau perlu, biar gak bisa dibuka lagi.

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang