TIGA PULUH DELAPAN

1.5K 118 26
                                    

Pentas seni puncak di malam terakhir jumpa karya baru saja dibuka dengan doa oleh Karin. Semua peserta jumpa karya sudah berkumpul di aula kwarcab menghadap ke panggung. Bukan hanya peserta jumpa karya, seluruh panitia anggota komunitas pramuka kota juga berada di aula. Mereka duduk di barisan paling belakang.

Adit dan Dewi menaiki panggung, menyapa seluruh orang yang ada di aula.

“Malam ini, kita akan menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang keren-keren.” Suara riang Dewi terdengar di ruangan itu. “Ada tampilan dari kelurahan putra, tampilan dari kelurahan putri, tampilan dari Viola, dan terakhir akan ditutup dengan tampilan dari tim koordinator pensi!”

“Oke tanpa lama-lama lagi, kelurahan putra silahkan maju. Beri tepuk tangan yang meriah!” Adit dan Dewi turun dari panggung bersamaan dengan penonton yang bertepuk tangan heboh.

Kelurahan putra maju memenuhi panggung di aula. Mereka berbaris dengan formasi setengah lingkaran. Seorang pemimpin melangkah ke tengah berteriak, memancing suara teman-temannya yang lain untuk menampilkan yel-yel mereka.

Kelurahan putra (iyaiyao)

Jumpa karya di kwarcab (iyaiyao)

Praja muda karana (iyaiyao)

Rajin terampil juga gembira (iyaiyao)

Hemat cerdas bersahaja (iyaiyao)

Pensi berjalan dengan lancar sampai tiba-tiba Revan berlari dengan tergesa ke belakang panggung menghampiri tim koordinator pensi yang ada di sana.

Adit mengernyit melihat Revan yang tampak pucat. “Kenapa, Kak?” Cowok itu mengencangkan suaranya, berusaha mengalahkan suara dari kelurahan putri yang sedang menampilkan vocal group.

Revan mengatur napas. “Ari.... Nyokapnya masuk rumah sakit gara-gara jatuh di kamar mandi.”

“Ha? Terus nyokapnya gimana? Gak kenapa-napa kan?”

“Gue belum tau. Tapi Ari izin pulang. Dia gak bisa ikut penutupan.”

“Terus tampilan kita gimana?” tanya Dewi panik.

“Itu dia gue bingung.” Revan menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. “Gak mungkin kita cancel. Kalian berdua tadi udah bilang kalo ada tampilan dari tim koordinator pensi kan?”

Dewi mengangguk. “Kita bilang batal aja gimana, Kak? Abis ini kan aku sama Adit naik lagi sebelum Viola nyanyi.”

Revan menggeleng tegas. “Jangan. Kita harus tampil gimana pun caranya.”

Tepuk tangan riuh dari penonton menandakan penampilan dari kelurahan putri sudah selesai. Adit dan Dewi buru-buru naik lagi ke panggung.

Alora yang sedari tadi memerhatikan pembicaraan mereka diam-diam menggigit bibir bawah, mulai berpikir. Ekor matanya melirik ke gitar akustik di pojok belakang panggung.

“Hm, ya itu emang resiko sih. Tapi gue kan tampil di depan orang yang gak gue kenal. Jadi lebih enggak takut kalo ada yang nge-judge.

Alora mengulum bibir. “Bukannya kalo kita tampil di depan orang yang gak dikenal malah lebih takut dijudge ya, Dew?”

“Namanya hujatan sih pasti ada aja. Mau sebagus apa pun penampilan gue, pasti ada aja yang nge-judge,” ucap Dewi. “Tapi itu resiko gue tampil di depan banyak orang. Lagian juga hidup gue gak ditentuin sama apa yang mereka bilang tentang gue kan?”

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang