SATU

6K 354 55
                                    

Sebagai anak baru di komunitas pramuka kota, mungkin Bryan Ivander layak mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Ini pertemuan pertamanya di komunitas, tapi hampir semua anggota—khususnya anggota perempuan—sudah mengarahkan perhatian pada cowok itu.

Alasannya sederhana. Cowok itu tampan dan asyik diajak bicara. Jadilah semua wanita dengan mudah jatuh hati padanya.

Bryan memang tampan. Garis wajahnya lembut, membuat dirinya tak bosan dipandang. Alisnya tebal dengan rahang tegas dan tatapan tajam yang teduh. Intinya cowok ini benar-benar berkharisma.

Terhitung sudah lebih dari 5 gadis yang meminta nomor telponnya sore ini. Rata-rata sih anak-anak baru komunitas yang merupakan alumni jumpa karya dua bulan lalu. Kalau senior-senior sih sudah punya kontak cowok itu karena Bryan mengisi formulir anggota baru waktu itu. Dasar senior, curi-curi kesempatan.

"Gila bor. Udah berapa yang minta kontak lo hari ini?" Adit, sahabat dekat Bryan duduk di atas motor, di sebelah cowok itu. Keduanya masih ada di parkiran kwarcab sebelah pos ronda setelah pertemuan tadi. "Tadi gue liat banyak amat yang datengin lo, cewek semua lagi."

Bryan terkekeh mendengar kalimat Adit. "Gak tau deh gak ngitungin gue."

"Anying nada lo sombong banget saking banyaknya." Adit menoyor kening Bryan membuat cowok tampan itu mengaduh sesaat. "Eh tapi serius deh. Lo demennya yang mana sih? Kata lo naksir alumni jumpa karya kemaren. Anaknya masuk sini juga gak?"

Kemarin Bryan memang cerita kalau cowok itu naksir anak jumpa karya dua bulan lalu itu. Tapi cowok itu tak memberi tahu namanya dan orangnya yang mana.

Bryan mengangguk. "Iya dia masuk sini juga."

Mata Adit berbinar. "Yang mana anaknya? Kenalin ke gue dong," ucapnya tanpa dosa yang langsung dibalas Bryan dengan toyoran.

Wajah sih kalau Adit ingin tahu gadis seperti apa yang menjadi incaran Bryan. Pasalnya cowok itu tampan dan punya begitu banyak penggemar yang cantik-cantik. Kalau gadis itu bisa meluluhkan hati Bryan, artinya dia lebih cantik dari penggemar cowok itu dong?

"Jealous-an amat njir. Belum juga jadi pacar." Adit mendecih sinis.

Bryan baru saja akan membalas kalimat Adit ketika matanya menangkap seorang gadis yang melangkah keluar dari lapangan pertemuan.

Gadis itu!

Bryan langsung berdiri dari motornya, berdeham sekilas, kemudian melangkah menghampiri gadis itu yang kini berdiri dengan tenang di depan gerbang utama. Sepertinya ia sedang menunggu jemputan.

Langkah Bryan berhenti di depan gadis itu. Gadis berkuncir kuda itu mengangkat alis bingung.

Bryan berdeham. "Hai. Inget gue?"

Gadis itu mengernyit samar. Tentu saja dia ingat pada Bryan. Sejak tadi semua teman perempuannya menyebut nama cowok itu terus. Tentu itu membuat Alora mengingat nama Bryan dengan jelas.

Tapi kalimat Bryan tadi seolah menjelaskan kalau ada sesuatu yang pernah terjadi di antara keduanya yang harus diingat oleh gadis itu.

Gadis itu lalu tersentak kecil mengingat sesuatu. "Elo yang minjemin jaket waktu itu?"

Bryan tersenyum lebar, merasa senang begitu saja ketika tahu kalau gadis ini ternyata mengingat pertemuan pertama mereka. "Ah ternyata lo masih inget sama gue."

Alora Helsa, gadis berkuncir kuda yang kini berdiri di depan Bryan tersenyum tipis. Cowok tampan ini rupanya benar-benar orang yang meminjaminya jaket malam itu di acara jumpa karya dua bulan lalu.

"Lo nunggu jemputan?" Bryan mencoba memecah keheningan di antara keduanya.

Alora mengangguk. "Lo juga?"

Bryan agak membelalak. Ya kali cowok sepertinya menunggu jemputan juga. Mau ditaruh di mana muka tampannya?

"Enggak. Gue bawa motor."

Alora memangut sekilas. "Terus kok ke sini?"

"Mau nawarin pulang bareng." Bryan tersenyum.

"Ah, gak usah." Alora menggeleng. "G-gue nunggu jemputan aja."

"Serius? Ini udah sore loh."

Alora menggeleng lagi. "Gak usah makasih. Gue dijemput kok."

Bryan menggigit bibir bawahnya diam-diam. Gadis ini tak semudah yang ia pikirkan rupanya. Cowok itu berdeham lagi. "Gue tungguin sampe lo dijemput."

Alora tersentak kecil. "Eh gak usah gapapa. Gue udah biasa."

"Gapapa. Gue nungguinnya juga ikhlas," ucap Bryan. "Nunggu di pos ronda aja ya biar bisa duduk."

Alora baru ingin membuka suara ketika Bryan meraih lengannya, menarik lembut menuju pos ronda dekat motor cowok itu. Alora yang terseret begitu saja akhirnya mengalah, membiarkan cowok itu menuntun langkahnya.

****

"Makasih, Pak." Alora turun dari mobil putih keluarga yang dikendarai oleh Pak Muri, supirnya. Gadis berkuncir kuda itu buru-buru melangkah masuk ke rumah dan langsung menuju kamar pribadinya.

Alora langsung mandi, berganti baju, lalu merebahkan dirinya di ranjang. Gadis itu memang selalu begitu. Alora tak akan merebahkan diri di ranjanga sebelum mandi dan berganti baju.

Alora bukan gadis yang suka menunda pekerjaan yang memang harus dikerjakan dengan segera. Alora Helsa memang berbeda. Jika gadis lain sangat suka bersantai di rumah, berjam-jam di depan media sosial, maka tidak dengan Alora. Gadis itu lebih suka mengerjakan banyak hal. Ia tak nyaman lama-lama berdiam diri di rumah.

Alora menghela napas. Bayang tentang Bryan yang tadi menghampirinya secara tiba-tiba seketika memenuhi pikirannya begitu saja.

Alora baru menyadari kalau pertemuannya dengan Bryan bukan hanya ketika hujan dan cowok itu meminjamkan jaketnya. Cowok itu juga menghampirinya ketika selesai pensi.

Bryan Ivander. Cowok itu yang disebut-sebut Viola ketika mengatakan ada cowok tampan yang bertemu dengannya di awal jumpa karya.

Viola adalah pimpinan sangga tempat Alora berada. Gadis itu juga bergabung di komunitas pramuka kota. Viola tipe cewek cantik sekolah yang tak pernah absen untuk mampir di list gebetan cowok-cowok sekitarnya.

Alora menghela napas menyadari sesuatu. Kenapa juga dia harus baper dengan Bryan beberapa detik lalu? Bryan yang tampan pasti punya selera yang tinggi dan Alora tak mungkin masuk ke kandidatnya.

Lagi pula kata Viola, cowok itu menghampirinya di awal jumpa karya dua bulan lalu. Bisa saja Bryan sudah jatuh hati pada sosok Viola yang jauh lebih cantik darinya.

Alora menggeleng kuat. Kenapa juga dia harus membandingkan dirinya dengan Viola? Memang apa yang ia harapkan? Masa ia harus berharap cowok setampan Bryan jatuh hati pada gadis biasa sepertinya yang bahkan tak masuk kategori incaran cowok-cowok di sekitarnya. Tentu saja tidak mungkin.

****

A.N :
Gimana chapter satunya?

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa voment dan share ya! God bless🙏

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang