Alora tak pernah seserius ini pada ucapannya. Setelah peristiwa pengusiran itu, Alora benar-benar mengemasi pakaian, laptop, gitar, dan buku-buku pelajarannya. Tepat pukul 11 malam gadis itu nekat keluar dari rumah dengan ransel besar dan tas gitar. Pak Muri sempat menghadang Alora dan meminta agar Alora tetap berada di rumah.
"Bapak pasti cuma emosi tadi makanya sampe ngomong kayak gitu ke Neng Alora. Mereka pasti gak mau Neng Alora beneran pergi."
Tapi Alora mengacuhkan kalimat itu. Lagi pula kalau Frans tidak benar-benar serius dengan ucapannya, ayahnya itu pasti sudah menahannya untuk pergi. Tapi sejak Alora keluar dari ruang kerja orangtuanya, Frans dan Monika sama sekali tidak menghampirinya. Rasanya kedua orangtuanya itu tidak menyesal dengan keputusan Alora untuk pergi.
Sebelum pergi tadi, Alora sempat memeluk Mbak Wati yang menangis melihatnya membereskan barang-barang. Asisten rumah tangannya itu sudah seperti ibu baginya. Meski Alora tidak sedekat itu dengan Mbak Wati karena gadis itu lebih sering mengurung diri di kamar, tapi tetap saja Mbak Wati sudah selalu ada ketika Alora butuh sesuatu di rumah.
Sama seperti Pak Muri, Mbak Wati juga menahannya agar tidak benar-benar pergi. Tapi Alora tetap pada pendiriannya. Gadis itu benar-benar sudah membulatkan tekad untuk pergi.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan Alora masih saja berjalan kaki membawa barang-barangnya. Pipinya masih lengket dengan air mata. Gadis itu belum menyekanya jejak air mata di pipinya. Rasanya berat sekali untuk menghapus jejak menyedihkan itu dari wajahnya.
Alora berhenti sebuah halte dan duduk di sana, merenggangkan ototnya yang pegal karena terus berjalan sejak satu jam tadi. Gadis itu sedikit menyesal tidak merencanakan dulu ke mana ia harus pergi. Biasanya Alora selalu merencanakan semuanya dengan baik. Pikiran kalutnya malam ini membuat gadis itu jadi tak fokus.
Alora menghela napas, masih merasa tak percaya Frans dan Monika bisa memperlakukannya seperti ini. Tamparan Monika masih terasa panas di pipinya. Air mata Alora jatuh lagi tanpa bisa ditahan. Ia benar-benar merasa menjadi anak yang paling tidak beruntung di dunia.
Monika dan Frans memang memfasilitasinya dengan baik. Ia diberikan Mbak Wati yang bisa memasak apa pun dengan enak agar Alora bisa makan di rumah. Ia diberikan Pak Muri yang siap mengantar Alora ke mana pun. Ia juga diberikan fasilitasi sekolah yang bagus dan tempat bimbel terbaik di kotanya. Tapi tetap tak mengubah kenyataan kalau Alora jenuh dengan yang yang baik yang dipilihkan oleh Monika dan Frans untuknya.
Ada hal-hal yang ingin Alora coba explore sendiri. Alora ingin bisa merasa bahagia ketika hal yang dia sukai bisa ia lakukan dan ia menemukannya di pramuka. Dari SMP Alora sudah tertarik dengan kegiatan pramuka. Dulu ia mendaftar di tim pramuka SMP, tapi tidak diterima karena ketika tes masuk tim pramuka, gadis itu tidak bisa datang karena ada olimpiade yang harus ia ikuti. Jadilah Alora baru masuk pramuka ketika SMA.
Rasanya menyenangkan ketika harus berkutat dengan banyak orang yang saling mendukung satu sama lain. Apalagi ketika harus berkutat dengan tali dan tongkat. Ia bisa tertawa lepas seolah tak punya beban apa pun. Gadis itu merasa menemukan kebahagiaan di sana.
Alora terdiam. Tiba-tiba terbesit di pikirannya ke mana ia harus pergi. Gadis itu menghela napas dalam-dalam sebelum kembali membawa barang-barangnya dan melangkah pergi di tengah kegelapan kota.
****
Mentari beranjak dari ufuk timur, mulai menampakkan cahaya terangnya. Burung-burung mulai berkicau lagi, bertengger di ranting-ranting pohon yang ada. Suara kokok ayam juga sudah terdengar, seolah menjadi alarm gratis yang membangunkan penduduk di sekitarnya.
Alora mengusap mata ketika sinar matahari menerpanya. Gadis itu beranjak dari tempat tidur dan merenggangkan ototnya lebar-lebar hingga menimbulkan bunyi. Ia benar-benar merasa pegal setelah sekitar dua jam berjalan kaki di tengah malam. Untungnya udara tadi malam tidak begitu dingin. Alora hanya butuh mengenakan jaket biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...