EMPAT PULUH DUA

1.5K 100 15
                                    

"Ra, lo ikut jalan sama anak-anak gak hari ini?" tanya Sella. Gadis itu tengah merapikan ranselnya. Bel pulang baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu.

Ah iya, soal Sella. Gadis itu sudah tahu tentang Alora dan Bryan. Putri yang memberi tahunya. Sella cukup kecewa ketika tahu Alora sudah dekat dengan Bryan dari sebelum dirinya menitip salam pada Bryan melalui Alora. Lagi pula kenapa Alora tidak mengatakan saja kalau dia sedang dekat dengan Bryan?

Alora Helsa terlalu tertutup untuk dijadikan seorang teman.

Alora yang sudah menyandang ransel di pundaknya langsung mengangkat alis bingung. "Jalan ke mana?"

"Lah? Lo gak tau? Kan udah pada janjian mau nobar. Lo gak liat grup?"

Alora menggeleng. "Gak gue scroll," ucapnya dengan ringisan tak enak. "Sorry ya."

Sella menghela napas. "Yaudah jadi lo ikut apa enggak hari ini?"

"Em, kayaknya enggak deh."

"Kenapa deh lo setiap diajak jalan sama anak kelas gak pernah mau?" tanya Sella. "Mereka tuh sering nanyain kenapa elo gak ikut jalan bareng. Ini aja kita janjian sekelas. Lo sendiri yang gak ikut. Kenapa sih, Ra?"

Alora merunduk. Tidak mungkin ia mengatakan pada Sella kalau dia dilarang oleh Frans dan Monika untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelas.

"G-gue udah dijemput sama Pak Muri di depan gerbang." Alora berusaha memberi alasan selogis mungkin kepada Sella.

Sella mendengus samar. "Ayolah, Ra. Kapan lagi lo bisa jalan sama anak kelas dengan formasi lengkap gini? Lagian juga lo kan gak pernah jalan bareng kita-kita. Sekali aja deh," bujuk Sella.

Alora menggigit bibir bawahnya. Gadis itu mulai bimbang. Hati kecilnya ingin sekali menerima ajakan Sella. Alora bukan robot yang bisa terus bekerja tanpa jeda. Gadis itu juga butuh istirahat dan hiburan.

Tapi di satu sisi, Alora tahu jelas kedua orangtuanya tidak akan suka mengetahui dirinya menghabiskan waktu bersama teman-teman.

"Ra, gimana? Ayolah."

Alora mengangkat wajah. Gadis itu menghela napas dalam-dalam. "Oke, ayo."

****

Alora tertawa melihat Amira dan Agil yang tengah lomba dance di tengah tempat hiburan anak di mal tempat mereka nonton. Agil berkali-kali mengumpat karena salah memijak dance floor. Sementara itu, Amira yang tampak sudah terbiasa dengan dance floor ini hanya tertawa puas melihat Agil yang berkali-kali salah.

"WO AMIRA MENANG YO!" Sorakan dari anak-anak perempuan kelasnya terdengar riuh. Mereka saling tos satu sama lain. Beberapa dari mereka sudah sibuk mengangkat ponsel merekam kerusuhan di sana. Sementara anak laki-laki kelasnya sudah sibuk mengeluh dan protes agar battle ala-ala ini diulang.

Alora menggeleng tobat melihat kelakuan teman-teman sekelasnya. Mereka bahkan tampak tak peduli jadi pusat perhatian di tempat permainan itu.

Alif mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ayo balik ke bioskop. Lima menit lagi mulai."

Alora dan teman-temannya mengangguk patuh lalu melangkah bersama menuju bioskop yang terletak tidak begitu jauh dari tempat permainan mereka tadi. Hari ini mereka akan menonton film action komedi.

"Ah, nanti gue mau tanding ulang pokoknya. Tapi gue yang milih lagu sama levelnya." Agil masih protes sepanjang langkah mereka menuju bioskop. "Amira mah curang. Dia milih yang udah sering dia mainin makanya lancar."

Amira terbahak. "Udahlah, Gil. Akui aja kalo gue emang lebih jago dari lo."

Alora terkekeh melihat kedua teman sekelasnya itu ribut lagi. Sebenarnya Amira dan Agil itu sepasang kekasih di kelas mereka yang cukup langgeng. Mereka sudah pacaran dari SMP dan akhirnya dipertemukan kembali di SMA yang sama dan di kelas yang sama pula.

Cara interaksi mereka memang sering kali membuat orang bertanya-tanya apakah keduanya benar-benar pacaran atau tidak. Pasalnya, baik Agil maupun Amira sering saling ejek satu sama lain. Tapi selama 6 bulan lebih berteman dengan keduanya, Alora tak pernah melihat mereka bertengkar hebat.

Kadang ketika melihat keduanya, Alora sering membayangkan apa rasanya memiliki seseorang yang spesial, seperti Amira memiliki Agil.

Dan orang itu memang sudah ia temukan.

Tapi, Alora tak pernah percaya diri untuk menerima Bryan sebagaimana Amira menerima Agil.

Alora bukan gadis yang cantik, bukan pula gadis yang ekspresif dan asyik seperti Amira. Dia takut tidak bisa membuat Bryan bahagia sebagaimana Amira membuat Agil bahagia.

Alora menggeleng, berusaha mengusir apa yang ada di pikirannya saat itu. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu.

****

Usai nonton, Alora dan teman-teman sekelasnya kembali lagi ke tempat hiburan anak tadi. Mereka masih sibuk menyuruh Agil mengalahkan Amira di battle dance ala-ala itu.

"Eh, kalo mau fair jangan lo berdua yang milih. Kita-kita aja yang milih," ucap Sella.

"Yaudah Sel, lo yang pilih aja." Amira menggeser posisinya, memberi tempat untuk Sella memilih lagu yang akan dimainkan.

"Eh, jangan Sella," cegah Agil. "Dia mah mihak ke elo nanti," lanjutnya. Cowok itu mengedarkan pandangannya. "Nah, Alora aja. Dia kan netral, jujur, dan bersih murni kayak gue."

"Pret!" sorak teman-temannya kompak. Mereka tertawa melihat wajah Agil mengeruh mendengar sorakan itu.

"Yaudah, Ra. Lo yang pilihin sini," ucap Amira. "Jangan diitung birama sama kecepatan musiknya, Ra," godanya.

"Lah iya entar Alora malah ngitung birama lagunya berapa, kecepatan tiap nadanya berapa, gelombang rambat bunyinya berapa," lanjut Alif.

"Gak gitu juga anjir," tanggap Sella dengan geli. "Sana, Ra, pilihin. Yang paling susah kalo perlu, biar mereka kelabakan sendiri."

Alora mengangguk patuh lalu mendekat ke floor dance dan memilih lagu untuk dua sejoli kelasnya itu. Sebenarnya gadis itu asal saja memilih. Alora tidak pernah mencoba permainan ini sebelumnya. Ia bahkan belum pernah bermain ke tempat ini.

Alora sudah pernah bilang kalau masa kecilnya sudah dirampas untuk belajar, bukan?

"Tuh udah. Semoga susah ya." Alora tersenyum lebar, meninggalkan keduanya di dance floor itu. Amira dan Agil sudah kembali ke posisi mereka masing-masing untuk mengulang battle ala-ala itu.

Awalnya Amira dan Agil berhasil menepatkan pijakan mereka dengan apa yang terlihat di layar. Keduanya bahkan sudah mendapat poin perfect yang tinggi.

Tapi semenit setelah itu, keduanya dibuat kelabakan mengikuti tampilan layar.

"Buset Alora milih lagunya pinter banget," ucap Alif dengan tawa di akhir kalimatnya. "Harusnya tadi levelnya lo naikin lagi, Ra biar mereka tambah susah."

Memang teman-teman kurang ajar.

Sella yang berada di samping Alora menyenggol lengan temannya itu. "Lo tau lagu itu?"

Alora mengangguk. "Iya. Gue sering denger pas SMP."

Sella mengangkat alis. "Lo tadi milih ngasal aja atau karena lo tau lagunya?"

"Sebenernya sih gue pilih karena gue suka instrumennya." Alora meringis. "Enak didenger gitu."

Sella mengangguk. "Selera musik lo emang top, Ra. Harusnya temen-temen yang lain tau juga tentang itu. Kenapa lo gak mau cerita sih?"

Ah, Putri juga sudah memberi tahu soal pensi itu tentang Sella. Dan lagi, Sella berjanji pada Alora untuk tidak menyebarkluaskan hal itu. Alora masih malu untuk mengakui pada orang lain tentang bakatnya itu.

Alora merasa gadis yang bisa bermain gitar dan bernyanyi itu haruslah cantik. Apalagi ada statement 'cewek makin cantik kalo lagi main gitar'. Sementara Alora sendiri menyadari kalau gadis itu tidak cantik sama sekali. Jauh sekali jika dibandingkan dengan gadis-gadis satu sekolahnya.

"WOI ALORA, PILIHAN LAGU LO SUSAH BANGET!"

Alora menoleh dan langsung terbahak ketika melihat Agil dan Amira sudah duduk lesehan di dance floor karena kelelahan.

****









A.N : yak melenceng saudara-saudara wkwk... gapapalah ya... kan Alora's life juga ehey

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang