ENAM PULUH DUA

1.4K 88 14
                                    

"Gue tau mungkin rasanya agak aneh kalo gue tiba-tiba minta kabar dari lo padahal kita gak punya status apa-apa. Tapi rasanya semua yang kita lalui udah cukup untuk jelasin kalo lo penting di hidup gue, Ra. Gue gak minta lebih. Gue cuma minta kabar lo doang, Ra. Apa sesulit itu, Ra?"

Bryan mendengus. Sudah cukup ia menahan semua keraguannya selama ini. Ia benar-benar tidak bisa lagi menerka-nerka alasan gadis itu.

Sebenarnya Bryan sama sekali tidak berencana untuk mengatakan kalimat itu kepada Alora. Ia ingin menanyakan kabar Alora dengan kalimat yang lebih baik. Tapi entah kenapa malah kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

Sementara itu, Alora berusaha sekuat tenaga agar bulir bening di pelupuk matanya tak mengalir. Gadis itu sedikit mendongak, menahan air matanya yang akan turun dalam sekali kerjapan mata.

Bryan menoleh dan tersentak kecil melihat mata Alora yang berair. "Ra?" panggilnya.

Air mata Alora jatuh begitu saja. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. Gadis itu berusaha mengambil napas untuk membuka suara. Ia ingin menjelaskan semuanya pada Bryan. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk berbicara.

Bryan menghela napas. Cowok itu mengulurkan tangannya, mengusap air mata yang mengalir di pipi Alora. "Sorry, Ra. Gue sama sekali gak maksud untuk bikin lo nangis kayak gini. Gue cuma—"

"Gapapa, Bryan," potong Alora. Gadis itu mengusap jejak air mata di pipinya, lalu menghela napas sekilas, berusaha menenangkan diri. "Gue yang minta maaf."

Bryan mengusap wajahnya. Cowok itu menyenderkan punggungnya dan diam cukup lama. Semua pikiran yang selama ini timbul ketika ia ragu dengan gadis itu datang lagi.

Semua orang memang mengatakan bahwa Alora pasti punya perasaan yang sama dengan Bryan. Tapi itu mereka katakan tanpa mengetahui bagaimana Alora sering hilang kabar dan membuat Bryan ragu.

Kalau saja Bryan punya kekuatan untuk mengetahui isi hati orang. Mungkin ia tak perlu serepot ini meyakinkan diri untuk mengikat Alora dalam sebuah hubungan.

"Sebenernya lo suka sama gue gak sih, Ra?"

Baik Alora maupun Bryan sama-sama tidak menyangka kalimat itu akan keluar hari ini. Bryan sama sekali tidak merencanakan untuk menanyakan hal ini kepada Alora. Tapi ia perlu tahu mengenai perasaan gadis itu.

Sementara itu, Alora benar-benar terbungkam. Gadis itu tak bisa menjawab kalimat Bryan, tentu saja. Tidak mungkin kalau gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya bukan? Apa jadinya jika ia mengatakan hal yang sejujurnya pada Bryan?

Alora menggigit bibir bawahnya ketika Bryan menoleh menatapnya tepat seakan berusaha mencari jawaban dari wajahnya. Gadis itu menunduk, mengulum bibirnya sekilas.

"Lo... temen gue, Bryan."

Hati Bryan mencelos begitu saja mendengar kalimat Alora. Semua harapan yang selama ini ada di dirinya hilang dan lenyap seketika. Semua usahanya selama ini untuk mencoba mengerti dan menerima gadis itu terasa sia-sia. Enam bulan lebih ia menunggu jawaban pasti dari gadis di hadapannya ini. Hari ini terjawab semua penantiannya.

Bryan menghela napas dalam-dalam, berusaha agar tak terlihat sedih. "Hm, oke. Yaudah lo pulang sana. Pak Muri udah nunggu kan?"

Alora mengangguk. "L-lo juga pulang. Udah mendung ini."

Bryan mengangguk, berusaha tersenyum manis. "Gue balik ya. Sampe ketemu di lomba pramuka SMA Cendekia, ... teman." Cowok itu nyengir sesaat sebelum beranjak dari tempat duduknya menuju motor, meninggalkan Alora di sana.

Alora mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa sesal dalam dirinya. Bukan ini yang ia inginkan, sungguh. Gadis itu menghela napas, lalu melangkah gontai menghampiri Pak Muri di parkiran.

****

"Bryan kamu abis dari mana? Kenapa berantakan gini?" Suara melengking sang mama langsung memenuhi indra pendengaran Bryan ketika cowok itu baru menginjakkan kakinya di rumah.

Rambut berantakan, mata merah, baju kotor, dan celana yang sobek. Bryan tak pernah pulang ke rumah dalam keadaan sekacau ini.

"Tadi Bryan jatuh pas belokan."

"Ya ampun, Nak!" Retha, mama Bryan, mengusap wajah anaknya. Tentu saja Retha panik melihat anak lelakinya itu jatuh di jalan. "Terus gimana? Kamu luka atau gimana?"

"Luka dikit doang, Ma. Bryan gapapa. Cuma jatuh di belokan deket gang rumah, bukan di jalan raya. Licin banget tadi. Bryan ngebut dikit makanya jatuh," jelas Bryan.

"Makanya jangan sering kebut-kebutan. Kamu tuh nakal banget. Udah tau licin malah ngebut," omel Retha. "Yaudah sana mandi. Mama ambilin obat merahnya dulu."

"Biar Bryan pake sendiri aja, Ma."

"Siapa yang mau makein kamu?" ceplos Retha. "Mama cuma mau ambilin obatnya doang. Kalo kamu yang ambil nanti jatuh semua yang ada di kotak obat."

Bryan menghela napas. Cowok itu masuk ke kamarnya dan berbaring di ranjang. Ia masih belum mau beranjak mandi. Lukanya masih terasa sakit.

Kurang menyedihkan apa lagi hidupnya? Ia terluka di hati dan di kaki. Luka di kakinya memang menyakitkan, tapi luka di hatinya itulah yang tak bisa sembuh hanya dengan obat merah.

Memikirkan penolakan Alora tadi sambil membawa motor membuat cowok itu emosi. Kecepatan motor Bryan tadi mencapai angka 100 km/jam. Sungguh, seemosi itu dia memikirkan penolakan Alora tadi.

Tanpa mengurangi kecepatan, Bryan membelokkan stang motor ke arah rumahnya dan di situlah ia terjatuh hingga baju dan celananya kotor. Celana yang cowok itu kenakan bahkan sobek di bagian lutut.

Bryan tak pernah menerima penolakan dari seorang gadis selama ini. Semua gadis seakan memujanya dan mengantre untuk menjadi pacarnya. Tapi tak ada satu pun yang berhasil mengikat hatinya sedalam Alora. Naya, pacar pertamanya pun tak membuat Bryan sampai uring-uringan seperti ini.

Alora berbeda dari semua gadis yang pernah ia temui. Perasaan yang ia rasakan pada Alora juga berbeda, lebih dalam dari semua perasaan yang pernah ia rasakan kepada wanita lain.

Bryan menghela napas. Cowok itu tak pernah merasa serapuh ini. Bryan benar-benar membenci keadaan ini, di mana ia harus ada di titik merasa kehilangan dan merasakan apa yang dinamakan penolakan.

Bryan beranjak meraih ponsel yang ia letakkan di nakas. Cowok itu butuh seseorang untuk membantunya berpikir jernih. Tapi tak mungkin ia menelepon Adit. Teman kampretnya itu bilang bahwa ia ingin jalan dengan Rahel hari ini. Bryan tak mungkin menganggu quality time temannya itu dengan pacarnya. Apalagi Adit dan Rahel akhir-akhir ini jarang bertemu karena keduanya sibuk dengan urusan sekolah masing-masing.

Baru saja Bryan ingin meletakkan kembali ponselnya di nakas, benda pipih itu bergetar menampilkan pesan dari aplikasi chatnya.

Karin : Bryan

Karin : sent a photo

Karin : gue gak salah liat kan?

Bryan mematikan ponselnya tanpa membalas pesan dari teman satu komunitasnya itu. Hatinya sudah cukup terluka dengan kalimat Alora tadi. Ia tidak mau lebih terluka jika harus melihat foto yang dikirimkan oleh Karin.

Foto Alora sedang duduk di sebuah halte bersama seniornya di komunitas pramuka kota.

Billian Alfa.

****











A.N :
Selamat hari Baden Powell ke 163!

Gimana part ini? Campur aduk?

Kak Bryan kalau butuh pundak, aku siap menyediakannya kok T_T

Sedih sih emang pas tau realita tak seindah ekspetasi. Hm. . . .

Jangan lupa voment dan share ya guis🥰

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang