TUJUH PULUH DELAPAN

1.6K 170 76
                                    

Ada beberapa perpisahan yang memang diperlukan untuk mengobati luka. Jangan sesali.

****

Bryan baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung membelalak membaca kalimat yang tertera di layar ponselnya. Cowok itu mengusap matanya, berusaha meyakinkan bahwa apa yang ia baca adalah benar-benar pesan dari gadis itu.

"MAMA!" Bryan melompat dari ranjangnya dan langsung berlari menuju ruang tamu tempat Retha sedang menonton TV. "Ma, Bryan pinjem mobil boleh?"

Retha mendecak ketika Bryan berdiri di depannya, menghalangi TV yang masih menayangkan tontonan favoritnya. Tangan Retha terulur menggeser tubuh Bryan. "Kamu tuh ngalangin Mama nonton."

Bryan meringis. Ia duduk di samping Retha dengan tubuh menghadap pada ibunya itu. "Ma, Bryan pinjem mobil dong. Ada urusan bentar."

"Urusan apa?" tanya Retha tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.

Bryan mengulum bibir bawahnya, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Anu, mau jemput temen."

Retha mengangkat alis, masih belum mengalihkan pandangan dari televisi. "Tumben. Udah malem gini. Biasanya juga naik motor. Temen siapa sih? Adit? Kan biasanya Adit dateng sendiri ke sini."

Bryan menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Ah, b-bukan Adit. Ada temen yang lain. Urgent Ma. Makanya Bryan mau minejm mobil."

Retha melirik anak semata wayangnya itu. "Siapa? Cewek?" Wanita itu lalu memutar tubuh sepenuhnya ketika melihat wajah Bryan memerah. "Bener?! Kamu mau jemput siapa? Mau nge-date?! Kok gak bilang?!"

Bryan merutuk dalam hati. Tentu saja ibunya itu akan terkejut. Bryan tidak pernah dekat dengan gadis mana pun. Dulu saja ketika masih pacaran dengan Naya, Bryan tidak pernah menceritakan sosok pacarnya itu pada Retha. Retha baru tahu tentang Naya ketika Adit cerita bahwa Bryan baru saja putus.

"Kenalin sama Mama ceweknya."

Bryan mendecak. "Ma, belum jadian."

"Nah kan bener lagi PDKT! Pantesan sering senyum-senyum gak jelas," seru Retha, merasa bangga dengan anaknya itu. "Siapa namanya? Anaknya gimana? Baik gak? Kenal di mana? Satu sekolah sama kamu?"

Bryan menghela napas, menahan diri untuk tidak mengomeli ibunya. Retha benar-benar luar biasa kepo. Tapi memangnya iya Bryan sering senyum-senyum gak jelas?!

"Kalo kamu gak jawab, Mama gak mau pinjemin mobil." Retha tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Bryan membelalak tak percaya dengan kalimatnya.

Bryan melengos, mau tak mau menceritakan pada Retha mengenai gadis itu. "Namanya Alora Helsa. Bryan kenal pas jumpa karya penegak tahun lalu. Anaknya baik, pinter, tapi terlalu datar, kurang ekspresif."

"Satu sekolah sama kamu?"

Bryan menggeleng. "Dia di SMA Bhinneka. Bryan ketemu lagi sama dia pas di komunitas pramuka kota. Tuh si Adit satu les sama dia."

Retha memangut. "Pantesan semangat banget tiap mau pergi ke komunitas," godanya. "Yaudah ambil aja kuncinya di gantungan belakang pintu rumah."

Garis wajah Bryan berubah cerah mendengar kalimat terakhir Retha. "Makasih, Ma." Cowok itu mencium sekilas pipi Retha lalu buru-buru melangkah ke kamar untuk mengambil jaket. Setelah itu barulah, dia menuju ke belakang pintu rumah untuk mengambil kunci mobil.

"Jangan lama-lama nge-datenya. Udah malem ini," teriak Retha dari ruang tamu.

Bryan mendecak. "Bukan date, Ma!" Cowok itu lalu buru-buru ke luar rumah, tak mau Retha menggodanya lebih lama lagi tentang Alora. Bryan masuk ke mobil hitam yang terparkir di garasi rumahnya. Sebelum menghidupkan mobil untuk pergi, Bryan mengambil ponsel di saku jaketnya. Ia baru ingat chat Alora tadi belum dibalasnya.

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang