DUA PULUH ENAM

1.8K 136 36
                                    

Latihan kedua untuk upacara pembukaan baru saja selesai. Seluruh petugas menepi ke pos yang ada di sisi lapangan. Kini, lapangan digunakan untuk latihan upacara penutupan. Petugasnya berbeda dengan upacara pembukaan sehingga seluruh petugas upacara pembukaan bisa berkumpul untuk evaluasi sebelum gladi bersih besok.

Dika selaku ketua komunitas ikut memberi evaluasi pada teman-teman yang bertugas.

“Kita upacara pembukaan jam sembilan pagi karena registrasinya udah mulai dari jam lima subuh. Kalian punya waktu persiapan cukup lama karena kita udah tidur di sini dari hari Selasa malam,” ucap Dika memberi tahu. “Tadi gue liat semuanya udah bagus. Paling koreksinya cuma untuk lantangin suara aja khususnya untuk Alora karena pengucapan pembukaan UUD lumayan panjang kan. Jadi stabilin suara ya, Alora.”

Alora mengangguk. “Oke, Kak.”

“Selain Alora, pemimpin upacara juga harus jaga suara. Jangan sampe entar terjadi hal-hal tidak diinginkan, kayak suara melengking atau serak tiba-tiba.” Dika mengakhiri kalimatnya dengan kekehan geli.

Ali, si pemimpin upacara ikut terkekeh geli. “Iya, Kak Dika. Aman. Gue gak makan gorengan sampe selesai upacara pembukaan.”

“Bagus deh. Jatah gorengan lo nanti buat gue kalo gitu. Tadi anak-anak konsumsi mau beliin gorengan soalnya.” Kalimat Dika disambut tawa geli seluruh petugas yang sedang duduk melingkar bersama cowok itu di pos.

“Untung gue sabar,” ucap Ali, mengelus dada menyabarkan diri.

“Yaudah itu aja.” Suara geli Dika masih terdengar. “Gue mau liatin petugas penutupan dulu. Sukses kalian ya!” Dika beranjak dari duduknya melangkah ke tepi lapangan untuk mengawasi petugas penutupan yang baru mengambil posisi untuk latihan.

“Gue ambil makanan dulu ya.” Revan beranjak menuju sekretariat untuk mengambil makanan jatah mereka.

Alora duduk di pojok pos bersama Karin. Keduanya bertukar cerita selama latihan. Alora masih sama. Gadis itu bercerita dengan santai—tidak meledak-ledak atau terlihat terlalu bersemangat.

Karin melirik ke depan pos. Terlihat Adit dan Bryan tengah berbincang dengan petugas lainnya. Gadis itu kembali menatap Alora, lalu berdeham. “Lo masih sama Bryan, Ra?”

Alora tersentak. “Masih apa?”

“Pacaran.”

Alora menggeleng cepat. “Gue sama dia gak pernah pacaran.”

Karin mengangkat alis. “Masih temenan doang?” Alora mengangguk. “Yaelah, Ra. Gue kira udah ada peningkatan. Malahan gue pikir lo sama dia udah pacaran diem-diem.”

Alora menggeleng. “Kan gue udah bilang kalo temenan, Rin.”

Karin memangut meski bibirnya mencuat kecil seakan tak rela. “Lo udah denger kejadian di pos ronda sebelum persiapan tadi gak?”

Alora tersentak untuk kedua kalinya. Bukan karena terkejut, melainkan karena mengingat pos ronda adalah tempatnya menunggu jemputan ditemani dengan Bryan. Apa mungkin yang ingin dikatakan Karin berkaitan dengan cowok itu?

“Denger apa?”

Karin mendecak kecil. “Lo sih gak pernah mau denger kalo ada gosip-gosip gitu,” keluhnya.

Aneh juga sebenarnya. Kenapa juga harus dikeluhkan jika teman tidak bergosip. Bukankah itu hal yang bagus?

Karin memperbaiki posisi duduknya menghadap Alora sepenuhnya. “Tadi katanya Kak Alfa sama Bryan kayak mau berantem gitu di depan pos ronda. Ada Adit juga di situ tadi.”

Alora membasahi bibir bawahnya. Gadis itu merasa ada sesuatu tak lazim yang terjadi. Ada apa dengan Bryan dan Kak Alfa? Mereka benar-benar bertengkar?

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang