TUJUH PULUH SATU

1.5K 124 34
                                    

Bryan menghentikan langkahnya ketika melihat sebuah motor berhenti di depan gadis berkuncir kuda di dekat pos satpam itu. Cowok itu lalu mendengus ketika mengetahui siapa pemilik motor itu. Sejak tadi Bryan sudah menunggu semua teman gadis berkuncir kuda itu pulang. Ia pikir si pemilik motor yang adalah pradana pangkalan pramuka gadis itu juga sudah pulang.

"Gak jadi nyamperin?"

Bryan menoleh ketika mendengar suara itu. "Nanti. Tunggu pradananya pergi dulu."

Adit tertawa. "Samperin ajalah. Biar tubir. Kan seru."

Bryan menjitak kening Adit. "Tubir aja kerjaan lo. Gue kasih tau Rachel entar."

Adit mengangkat bahu acuh. "Kan bukan gue yang tubir," balasnya ringan. Cowok itu menoleh ke arah pos satpam. "Tuh udah pergi dianya. Sono datengin." Adit menunjuk ke arah pos satpam. Tampak si pengendara motor sudah menginjak gigi mesin dan tak lama kemudian ia berlalu dari pandangan mereka. "Atau mau gue aja yang nyamperin dia?"

Bryan mendengus. "Balik lo sana." Tanpa banyak kata, Bryan melangkah meninggalkan Adit.

Cowok tampan itu menghela napas dalam-dalam ketika jarak antara dirinya dengan gadis itu mulai menipis. Bryan tak bisa menahan degupan kencang di dada kirinya. Sungguh, ini bukan hal yang biasa terjadi dengannya. Tak biasanya Bryan segugup ini untuk bicara dengan Alora.

Bryan akui ia memang benar-benar sudah jatuh terlalu dalam untuk gadis sederhana itu. Hampir setiap malam cowok itu memandangi roomchatnya dengan Alora, membaca kembali percakapana antara dirinya dengan gadis itu. Bryan merindukan semua itu. Ia rindu tiap kali mengobrol dengan Alora. Ia rindu tiap kali bertemu dengan gadis itu di komunitas pramuka kota. Ia rindu tiap kali duduk berdampingan dengan gadis itu di pos ronda dekat kantor kwarcab. Ia rindu ketika duduk di depan api unggun berdua dengan gadis itu.

Intinya ia rindu semua hal tentang Alora Helsa.

Bryan menghela napas ketika jaraknya dengan gadis itu tinggal 3 langkah lagi. Cowok itu berdeham sekilas sebelum mengeluarkan suaranya.

"Itu tadi cowok lo?" Kalimat itu keluar dari mulut Bryan begitu saja.

Bryan bisa melihat punggung Alora menegak ketika mendengar kalimatnya. Cowok itu lalu melangkah ke samping Alora. "Hai Alora."

****

Alora tak pernah merasa segugup ini berada di depan seseorang. Ia sudah melewati banyak lomba dan presentasi di depan orang-orang kalangan cerdas. Tapi tak ada satu pun yang mampu membuatnya segugup ini.

Cowok itu melangkah ke hadapan Alora. Tatapannya terkunci pada gadis di depannya ini, membuat Alora malah mati kutu dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia bisa mati jika harus membalas tatapan cowok itu.

"Ra, lo gak mau bales sapaan gue?"

Alora meneguk ludah tanpa sadar. "Eh, iya, h-hai." Sial. Alora mendadak jadi gagap begini.

Bryan mengusap tengkuk lehernya. Ia tambah gugup melihat Alora seperti ini. "Ehm, selamat ya. Pangkalan lo keren."

Alora mengulum bibir bawahnya. Gadis itu mengeratkan pegangan pada tali ranselnya tanpa sadar. "Banyak yang lebih bagus kok. Pangkalan gue cuma dapat tiga piala."

Bryan berdeham, menetralkan degupan jantungnya yang semakin kencang. "L-lo dijemput Pak Muri?" Alora mengangguk. "Ehm, duduk dulu di sana mau gak?" Bryan menunjuk kursi di dekat parkiran sekolahnya.

Alora terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Gadis itu melangkah di belakang Bryan lalu duduk berdampingan dengan cowok itu.

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang