Lo gak perlu khawatir karena lo bukan hanya yang pertama, tapi juga satu-satunya untuk gue.
****
Hari ini hari penerimaan rapot SMA Bhinneka. Upacara baru saja selesai lima menit yang lalu. Dalam upacara terakhir SMA Bhinneka di semester ganjil ini, dipanggil nama-nama anak yang mendapat urutan tiga besar di kelas masing-masing. Dan Alora menjadi salah satu anak yang dipanggil di upacara tadi. Gadis itu berhasil menempati posisi juara umum semester ini.
Alora tersenyum tipis setiap kali ada yang mengucapkan selamat padanya. Dari sekian banyak ucapan yang diterimanya, sebenarnya ada satu ucapan yang membuat hatinya sakit. Ucapan dari salah seorang gurunya.
“Selamat ya, Alora. Nilai kamu bagus-bagus. Mama sama papa pasti bangga liat kamu berprestasi gini.”
Alora terdiam cukup lama ketika mendengar kalimat itu dari Pak Pras, guru kimianya. Kalimat itu seolah menampar dirinya kuat-kuat dengan apa yang terjadi.
Kedua orangtuanya bangga? Sungguh? Rasanya mereka hanya akan menyuruh Alora untuk terus meningkatkan prestasi dan nilai-nilainya. Tidak ada pujian, tidak ada motivasi, dan tidak ada suntikan semangat. Hanya ada kata harus, harus, dan harus dalam kamus kedua orangtuanya.
Alora menghela napas dalam-dalam. Gadis itu tidak boleh terlihat sedih di lingkungan sekolah. Cukup tembok kamarnya saja yang menjadi saksi air mata dan kesedihannya selama ini.
Sella melompat ke samping Alora, mengagetkan gadis itu. “Alora! Selamat ya! Ah, lo mah pasti juara satu terus. Pinter begini.”
Alora tersenyum tipis menanggapi kalimat Sella. “Makasih, Sel. Lo berlebihan. Gue gak sepinter itu.”
Sella mengibaskan tangannya. “Taruhan sama gue. Lo bakal ranking satu lagi di penerimaan rapot tengah semester genap nanti dan di kenaikan kelas,” ucap Sella dengan semangat. Alora juga menduduki peringkat pertama di penerimaan rapot tengah semester ganjil kemarin. Wajar saja jika Sella begitu yakin pada temannya itu.
“Oh ya, Ra.” Sella duduk di sebelah Alora. “Jumpa karya yang penggalang lusa ya?” Alora mengangguk. “Gue titip adek gue ya. Kalo bandel marahin aja. Emang gak kalem dia, beda sama kakaknya.”
Alora tersedak mendengar kalimat Sella. Gadis itu lalu terkekeh. “Bukannya dia gak kalem keturunan lo, Sel?”
Sella meringis. “Lo mah jangan jujur banget dong.” Gadis itu tak bisa menahan kekehannya. “Lo jadi panitia, Ra?” Alora mengangguk. “Bidang apa?”
“Gue dimasukkin koordinator pensi.”
Sella memangut. “Goodluck ya buat lo sama temen-temen komunitas lo yang lain. Semoga acaranya lancar, gak ada hambatan apa-apa.”
“Amin. Makasih, Sella.” Alora tersenyum.
“Iya sama-sama. Gue sekalian titip salam buat Bryan ya. Bilang aja salam dari Sella yang dulu pernah satu SMP sama dia.”
Alora terdiam sejenak sebelum memberi respon berupa senyuman tipis. “Iya entar gue bilangin.”
Sella tersenyum lebar. “Makasih, Alora.”
****
Punggung Bryan menegak ketika mobil putih familiar itu berhenti di depan gerbang utama kwarcab. Ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman. Senyumnya semakin melebar ketika gadis itu turun dari mobil dan melangkah mendekat.
“Hai, Bryan.”
Bryan tersentak kaget. Dia tidak salah dengar kan? Alora menyapanya duluan?
Alora mengangkat alis. “Kenapa? Kok diem?”
“Ah enggak.” Bryan sampai salah tingkah dibuatnya. “Gue cuma kaget lo tiba-tiba nyapa duluan. Biasanya kan gue yang nyapa lo duluan.”
Alora meringis. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba kalimat itu keluar dari bibirnya. Biasanya Alora hanya sebatas berhenti di depan Bryan dan membiarkan cowok itu yang menyapanya terlebih dahulu. Tapi kali ini ia duluan yang mengeluarkan kalimat sapaan itu.
Bryan berdeham. “Latihannya baru mulai setengah jam lagi.”
Alora mengangkat alis bingung. “Terus?”
“Temenin gue makan yuk. Tadi belum sempet makan siang.”
****
Alora dan Bryan duduk berdampingan di sebuah warung makan yang terletak di samping kantor kwarcab.
Bryan agak tak menyangka gadis di sampingnya ini akhirnya duduk di sampingnya lagi untuk makan bersama. Ini sudah kali ketiga mereka berdua makan bersama, tapi debaran itu masih utuh di dada Bryan.
“Lo belum makan juga, Ra?”
Alora mengangguk. “Tadi lama di sekolah. Baru pulang ke rumah langsung ke sini. Jadi gak sempet makan.”
“Lain kali makan dulu, Ra. Kalo gue gak ajak makan mungkin lo gak bakal makan sampe selesai latihan nanti,” ucap Bryan. Cowok itu meraih tisu mengusap sudut bibir Alora. “Gue gak mau lo sampe sakit karena gak makan.”
Alora membeku menerima perlakuan mengejutkan dari cowok di sampingnya ini. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, berusaha meredakan degupan jantungnya yang semakin menggila.
Alora berdeham. “Ehm, thanks.” Gadis itu kembali merunduk, berusaha fokus pada makanannya. Tapi tiba-tiba ia teringat apa yang dikatakan Sella tadi. “Em, Bryan.”
“Kenapa?”
Alora menghela napas berusaha melanjutkan kalimatnya. “Temen gue ada yang nitip salam.”
Bryan mengangkat alis. “Siapa?”
“Sella. Dia temen SMP lo dulu.”
Dahi Bryan mengkerut. Cowok itu berusaha mengingat nama yang disebut oleh Alora barusan. “Oh, Sella. Iya iya gue inget. Kenapa dia?”
Alora menghela napas. Hatinya agak mencelos ketika mendengar kenyataan bahwa Bryan mengenal Sella. Padahal gadis itu berpikir akan ada keajaiban di mana cowok ini tidak mengenal Sella.
Ah, sial. Alora jadi seposesif ini pada Bryan.
“Dia nitip salam.”
“Oh gitu.” Bryan memangut. Cowok itu berdeham. “Kalo gue bilang salam balik untuk dia, lo bakal cemburu gak?”
Alora tersentak mendengat kalimat itu. “M-maksudnya?”
Bryan tersenyum mendengar suara terbata Alora. “Iya deh gak jadi salam balik. Kayaknya lo bakal cemburu banget kalo gue kirim salam balik ke dia.” Cowok itu terkekeh geli. Hatinya melambung begitu saja ketika semu merah mulai terlihat di pipi Alora.
“G-gue gak cemburu. Lagian hak lo kan untuk kirim salam balik ke dia. Kalian kan temenan. Atau mungkin aja lo juga pernah suka sama dia kan?”
Alora merutuk setelah menyelesaikan kalimatnya itu. Kenapa dia jadi begitu cerewet?!
Bryan tertawa, membuat Alora semakin mengkerut malu. “Rekor nih seorang Alora Helsa ngomong sepanjang itu ke gue,” godanya. Cowok itu tersenyum. Tangannya terulur mengacak lembut puncak kepala Alora. “Satu-satunya cewek yang pernah gue sukain itu elo. Bukan orang lain. Jadi tenang aja ya?”
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Alora ketika mendengarnya. Mungkin jika manusia bisa meleleh bagaikan es krim, keadaan Alora sudah seperti itu saat ini.
****
A.N :
Dikit banget. . . .Double up kali ya? Hm. . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...