Alora tengah sibuk dengan buku-buku matematikanya ketika pintu kamar gadis itu diketuk. Ia segera beranjak untuk membuka pintu kamar.
Alora mengangkat alis ketika menemukan Mbak Wati berdiri di depan kamarnya. "Kenapa, Mbak?"
"Maaf, Non kalo Mbak ganggu Non belajar," ucap Mbak Wati. "Nyonya sama Tuan nungguin Non di meja makan."
Alora mengernyit bingung. Tumben sekali. Hari ini hari Rabu, bukan Jumat. Kenapa kedua orangtuanya tiba-tiba menunggunya untuk makan malam bersama hari ini?
"Yaudah, Mbak nanti Alora ke ruang makan."
Mbak Wati mengangguk lalu berlalu dari hadapan Alora, meninggalkan gadis itu yang kini menghela napas panjang. Alora menutup pintu kamarnya kemudian melangkah menuju ruang makan. Gadis itu bisa melihat Monika dan Frans sudah duduk di kursi mereka masing-masing. Di depan keduanya sudah ada piring berisi nasi masing-masing.
Monika mengangkat wajah ketika Alora duduk di hadapannya. "Lama banget kamu."
Alora yang tengah mengisi piringnya dengan nasi tersenyum tipis menanggapi kalimat Monika. "Alora lagi belajar matematika tadi."
Monika memangut. Wanita itu mulai mengisi piringnya dengan lauk dan sayur juga. "Kamu udah keluar dari komunitasmu itu?"
Alora yang baru saja memindahkan sepotong ayam goreng ke piringnya langsung terdiam begitu saja. Haruskah Monika mengatakan hal itu di kalimat keduanya malam ini?
Alora menghela napas singkat. "Belum. Nanti Alora ngomong sama Kak Dika."
Frans mengangkat alis. "Siapa Dika?"
"Ketua komunitas pramuka Alora."
"Bagus," ucap Frans. "Kamu jelasin kalo kamu gak bisa ikut lagi di komunitas itu. Bilang yang tegas supaya ketua komunitasmu itu gak nahan-nahan kamu untuk keluar pas kamu bilang."
Alora mengangguk lemah. Gadis itu menyedokkan nasi dan ayam ke mulutnya. Apakah Frans dan Monika memintanya makan malam bersama hanya untuk mengatakan tentang komunitas pramukanya itu? Setidak suka itukah mereka pada kegiatan yang Alora sukai?
"Minggu depan kamu ulangan tengah semester kan?"
Alora menghela napas. "Iya. Aku pasti belajar untuk ulangan. Mama sama Papa gak usah khawatir. Aku gak akan malu-maluin kalian."
Sumpah. Alora benar-benar ingin menangis sambil meneriakkan kepada kedua orangtuanya kalau ia benci diperlakukan seperti ini. Gadis itu mengatakannya karena sudah terlalu malas mendengar kalimat itu dari mulut Frans maupun Monika. Ia benar-benar enek.
"Bagus kalo kamu ngerti. Papa pegang omongan kamu." Frans melanjutkan makannya, sesekali mengecek ponsel yang diletakkannya di samping piring.
Monika menelan makanannya. "Nilai kamu harus naik. Ini bisa jadi tabungan kamu untuk semester kedua di SMA," ucapnya. "Mama udah tanya-tanya ke temen mama yang anaknya kuliah di Harvard. Katanya nilaimu kemarin bisa jadi awalan yang bagus untuk nyari beasiswa ke sana. Kalau untuk tes, nanti mama tanya anaknya belajar sama siapa."
Alora menghela napas. Gadis itu menyedokkan makanannya tanpa semangat. Sungguh, ini benar-benar menyebalkan. Alora hanya ingin makan malam bersama dengan tenang. Tidak bisakah dia mendapatkannya?
Dari awal Mbak Wati memanggilnya, Alora sudah merasa akan ada hal yang tidak menyenangkan yang terjadi di meja makan malam ini. Tapi Alora berusaha berpikir positif. Lagian jarang-jarang juga kedua orangtuanya mengajaknya makan malam di hari lain selain hari Jumat.
Tapi ternyata setiap hari adalah sama. Alora sama sekali tak mengerti bagaimana Frans dan Monika bisa mengulang kalimat itu setiap hari dengan cara yang berbeda-beda. Memangnya mereka berdua tidak bosan? Alora yang mendengarnya saja sudah bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...