EMPAT PULUH SEMBILAN

1.3K 96 4
                                    

Aku hanya bisa menuangkan semua resah, gelisah, dan air mata melalui balutan nada dan melodi. Maaf kalau aku belum jadi yang terbaik.

****

Alora mengerjap ketika pintu kamarnya diketuk. Gadis itu mengusap matanya beberapa kali, berusaha mengumpulkan nyawa terlebih dahulu sebelum melirik jam digital di samping tempat tidurnya. Masih pukul 3 pagi. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya jam segini?

Alora mencuci wajahnya sekilas sebelum membuka pintu kamar. Gadis itu sedikit terkejut dengan adanya Mbak Wati di depan kamarnya. Wanita itu tampak agak panik.

“Kenapa, Mbak? Tumben jam segini udah ngetuk pintu kamar.”

“Anu, Non. Nyonya nunggu Non di ruang kerja mereka. Keliatannya Nyonya lagi marah besar, Non.”

Alora mengulum bibir. Untuk apa Monika memanggilnya jam segini? Tidak bisakah mereka menunggu hingga pagi untuk bicara pada Alora? Sepenting apa hal yang hendak mamanya itu katakan? Dan juga kenapa kata Mbak Wati mamanya tampak sedang marah besar?

Alora menghela napas. “Yaudah Mbak. Aku samperin Mama.”

Mbak Wati memangut. “Kalo ada apa-apa panggil Mbak ya, Non.” Wanita itu berlalu setelah Alora mengangguk menjawab kalimatnya.

****

Alora membuka pintu ruang kerja kedua orangtuanya. Jantungnya seketika berdegup kencang ketika melihat Monika tengah duduk dengan garis wajah mengeras. Baru pertama kali Alora melihat wajah mamanya semengerikan itu.

“Kamu tadi sore ke mana?”

Deg.

Kenapa Monika selalu membuka percakapan dengan kalimat yang membuat jantung Alora seakan mau copot?

Alora mengulum bibir bawahnya. Gadis itu meneguk ludah samar. “A-aku belajar,” cicitnya.

“Mama udah pernah bilang kalo mama sama papa gak pernah ajarin kamu bohong ya, Alora Helsa!” Suara Monika langsung meninggi begitu saja. “Mama udah larang kamu ke pramuka pramuka yang gak penting itu. Kenapa kamu masih pergi juga?!”

Alora merunduk, tak menjawab. Ia tak mau memperpanjang masalah yang ada. Ini semua memang salahnya. Dia yang tidak menaati omongan Monika.

“Jawab!”

“A-Alora p-pergi karena... Alora b-butuh refreshing.”

Mata Monika membelalak. “Kamu pikir itu penting?! Mama sama Papa udah kasih kamu semuanya. Kamu bisa main gitar di kamarmu. Kamu bisa makan apa aja di rumah. Kamu bisa nonton TV di rumah. Kami udah kasih fasilitas terbaik untuk kamu! Gak perlu ke pramuka pramuka itu!”

Monika menghela napas gusar melihat anak semata wayangnya itu tertunduk. “Kamu diajarin ngebantah orangtua di pramuka ha?!”

Alora mengepalkan tangan, berusaha tak meledak di depan Monika. Gadis itu sekuat mungkin menahan air mata agar tak turun membasahi pipinya.

“Mulai besok, kamu keluar dari komunitas pramukamu itu!”

Alora mengangkat wajah menatap Monika dengan kening mengerut. Dengan mata basah, Alora menatap ibunya itu, berusaha meminta penjelasan.

“Jangan tanya. Kamu udah tau sendiri kenapa.” Monika beranjak dari sofa yang didudukinya. Wanita itu melangkah melewati Alora menuju pintu di belakang anak semata wayangnya itu.

“Alora gak mau.”

Monika yang baru saja hendak membuka pintu langsung berbalik dengan mata membelalak. Selama ini, Alora tidak pernah menolak. Komunitas sialan itu benar-benar sudah merubah kepribadian anaknya yang penurut.

“Kamu bilang apa? Gak mau?” tanya Monika tepat di depan Alora.

Alora mengangkat wajah, menatap Monika. “Ya, Alora gak mau.”

Wajah Monika memerah menahan amarah. “Udah bisa ngebantah sekarang?”

“Alora hanya pertahanin apa yang bikin Alora senang.” Nada bicara Alora terdengar tegas meski dapat terasa bahwa gadis itu mengatakannya dengan gemetar.

Monika melipat kedua tangannya di depan dada. “Bohong dua kali sama orangtua ternyata udah bikin kamu berani bantah ya, Alora. Mama gak nyangka anak yang selama ini mama bangga-banggain bisa ngebantah omongan Mama.”

Alora meremas tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. “Mama cuma bangga sama Alora, tapi Mama gak pernah ngasih apresiasi atas semua kerja keras Alora. Alora cuma mau—”

“Cukup.” Monika mengangkat tangan kanannya, menghentikan kalimat Alora. “Jangan ngebantah. Balik ke kamar kamu dan tidur.” Monika berbalik, membuka pintu ruang kerja itu dan kembali ke kamarnya.

Alora masih di ruangan itu. Gadis itu mengusap wajahnya kasar, berusaha menghilangkan bekas air mata dan kesedihan di wajahnya. Tapi gagal. Air matanya semakin mengalir deras.

Alora menghela napas dalam-dalam, berusaha meredam isak tangisnya.

Jika tahu ia dibangunkan hanya untuk menangis, Alora akan memilih tuli saja agar tak bisa mendengar ketukan Mbak Wati di pintu kamarnya. Alora akan memilih tuli agar tak perlu mendengar semua kalimat Monika barusan yang membuat air matanya mengalir deras.

Apa kata Monika tadi? Anak yang selama ini ia bangga-banggakan? Sejak kapan mamanya itu membanggakan Alora? Selama ini saja Alora selalu ditekan untuk ini dan itu. Ia bahkan tak mendapat apresiasi sama sekali.

Jangankan apresiasi, mendapat ucapan selamat untuk suatu prestasi saja tidak.

****

Alora menghela napas ketika menatap pantulan tubuhnya di cermin. Matanya tampak bengkak. Gadis itu tidak tidur setelah kejadian di ruang kerja orangtuanya tadi. Alora memilih untuk memainkan gitarnya saja, menuangkan air matanya dalam balutan nada dan melodi.

Alora mendecak. Bedak yang biasanya ia kenakan masih tidak bisa menyembunyikan matanya yang membengkak. Dia tidak mungkin pergi ke tempat bimbel dengan mata sembap seperti ini.

Gadis itu berpikir beberapa saat sampai akhirnya menarik laci mejanya. Untung saja Alora pernah menyimpan sebungkus masker di sana. Semoga saja dengan mengenakan ini, bengkak di matanya tidak terlalu terlihat.

Kalau pun terlihat, mungkin Alora akan mengatakan kalau gadis itu kelilipan lalu mengucek matanya sampai berair. Makanya matanya jadi bengkak begitu.

Alora keluar kamar setelah mengenakan ransel di pundaknya. Gadis itu melewati Frans yang tengah duduk di ruang tamu sambil mengutak-atik laptopnya. Alora menyalami pria itu.

Frans mengangkat wajah ketika Alora menyodorkan tangan, hendak menyalaminya. “Oh, masih inget les juga kamu? Kirain cuma inget komunitas sialan itu.”

Alora tak menjawab. Gadis itu menyalami Frans sebelum melangkah pergi. Ia tak mau air matanya keluar lagi.

“Mamamu udah bilang untuk keluar dari komunitas pramuka itu kan? Papa harap kamu ngerti apa yang harus kamu lakukan. Bukan membantah dan diam-diam pergi ke sana, melawan ucapan orangtuamu, seperti anak tak berpendidikan.”

Frans kembali merunduk pada laptopnya, membiarkan Alora melangkah gontai meninggalkan rumah dengan air mata yang kembali turun dari matanya.

Anak tak berpendidikan? Setelah semua yang ia lakukan untuk membanggakan kedua orangtuanya yang berpendidikan tinggi itu, kalimat itukah yang menjadi balasan untuknya? Bagaimana mungkin Frans bisa mengeluarkan kalimat itu untuk anaknya?

Alora menghela napas. Ia mulai membenci rumah ini.

Dan segala isinya.

****











A.N :
Selamat menyambut tahun baru. Semoga apa yang kalian tabur di tahun 2019 bisa kalian tuai berkali-kali lipat di tahun 2020. Amin❤️

Oh ya, author dititipin ucapan selamat tahun baru dari Kak Alora dan Kak Bryan. Semoga bahagia selalu kata mereka:)


Yha. Ini belum seberapa kok badainya:)

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang