Dulu, kukira jatuh cinta tak mungkin semenyenangkan itu. Mana mungkin orang bisa tersenyum sepanjang malam hanya karena obrolan singkat di telepon. Tapi kali ini, aku sendiri yang mengalaminya.
****
Adit menatap horor Bryan yang duduk di depannya kini. Bryan sama sekali tak terlihat lebih baik. Cowok itu malah terlihat lebih stres daripada Adit yang sedari tadi mencoba untuk menyusun jadwal Cendekia Scout Championship.
"Apa sih anjir?!" omel Adit ketika Bryan menendang kakinya. "Lo dari tadi kayak kucing kesirem aer aja dah."
Bryan mendengus. "Alora gak bales chat gue. Dah hampir sepuluh menit padahal," ucapnya mengcadu pada Adit. "Gue kira abis nganter dia kemaren, dia bakal jadi lebih cepet bales chatnya."
"Ya lo spam kek, telpon kek, atau apa gitu." Adit kembali menatap layar laptop. "Lagian juga dia kan sibuk. Bisa aja lagi gak pegang HP."
Bryan menghela napas. Cowok itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Nah karena dia sibuk itu gue jadi ngerasa bakalan ngeganggu kalo gue spam dia atau nelpon."
"Ya coba aja dulu. Kalo emang itu bikin dia keganggu, ya lo bisa minta maaf sama dia kan?"
Bryan terdiam. Cowok itu berpikir beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas dalam-dalam dan meraih ponselnya.
Adit yang melihat itu hanya menggeleng tobat. Bryan ternyata sebodoh itu saat jatuh cinta. Adit sendiri cukup terkejut ketika kemarin Bryan bercerita bahwa cowok itu mengantarkan Alora ke rumah Karin.
Dia pikir hubungan keduanya akan tetap kaku tanpa acara bonceng-boncengan paling tidak sampai kenaikan kelas nanti mengingat Alora yang benar-benar kaku, pemalu, dan pendiam.
Sementara itu, di layar ponsel Bryan, cowok itu sudah sibuk mengetik untuk mengirimi Alora pesan beruntun.
Bryan : Ra
Bryan : Ra
Bryan : Ra lo gapapa kan?
Bryan : gue khawatir lo gak jawab-jawab chat gue
Bryan : Ra? Gue telpon ya?
Bryan : Ra jawab dong
Bryan menghela napas. Cowok itu mengangkat wajah menatap Adit yang kini sudah kembali sibuk dengan laptop di hadapannya. "Dit, gue telpon beneran nih?"
"Hm," jawab Adit tanpa mengalihkan wajahnya dari layar laptop.
Bryan mendecak. "Ah anjir gue ragu mau nelpon dia," serunya geram sendiri. "Kalo gak diangkat gimana? Malu banget gue kampret."
Adit melengos. Cowok itu kini mengangkat wajahnya lagi menatap Bryan. "He, yang namanya perjuangan tuh ada rintangannya. Pasti ada aja yang harus lo laluin. Kalo lo gak mau malu, mending gak usah berjuang buat dia."
Bryan terdiam. Benar sih. Tapi dia ini Bryan Ivander, cowok yang selalu dikejar-kejar oleh gadis lain. Rasanya aneh kalau kini malah cowok itu yang mengejar seorang gadis.
Selama ini Bryan oke oke saja jika harus menghubungi Alora melalui chat karena ia yakin pasti akan dibalas—meski lamanya minta ampun. Tapi kalau telpon, kemungkinan untuk tidak diangkat atau bahkan direject itu sangat besar.
Mau tarok di mana mukanya kalau sudah begitu?
"Der, coba dulu aja deh. Kalo masalah malu, lo juga udah malu-maluin image lo itu sejak lo ngejer-ngejer Alora."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...