SEPULUH

2.7K 186 15
                                    

Alora merapikan alat tulisnya. Gadis itu menyampirkan tali ransel ke pundak dan melangkah keluar ruangan lomba setelah pamit pada pengawas ruangan.

Alora menghela napas lega. Akhirnya selesai juga. Gadis itu bersyukur bisa menjawab semua soal yang diberikan. Hasil belajarnya seminggu ini ternyata benar-benar membantu.

Alora melangkah berbelok ke toilet di dekat ruang lombanya. Gadis itu mencuci wajahnya, berharap agar pikirannya ikut segar setelah terkena air. Setelah segar, barulah gadis itu mematikan keran air dan melangkah ke luar.

Alora tersentak ketika lengannya ditarik. Gadis itu menoleh mendapati Bryan tersenyum menatapnya.

Bryan melepas pegangannya di lengan Alora. "Hai, Alora."

Alora mengulum bibir sejenak. "Hai."

"Olimpiade lo udah selesai kan?" Alora mengangguk. "Mau makan siang bareng?"

Alora tertegun. Jantungnya mulai berpacu lebih cepat. "Ah, g-gue harus ke tempat guru gue dulu."

"Yaudah gue temenin," balas Bryan santai. Alora sampai melebarkan mata terkejut mendengar kalimat santai Bryan itu. "Sekalian mau minta izin ke guru lo untuk makan bareng sama lo."

Alora baru akan menolak ketika Bryan menarik lengannya melangkah ke ruang yang memang disediakan untuk guru-guru pendamping. Gadis berkuncir kuda itu tertarik paksa mengikuti Bryan masuk ke ruangan itu.

Ratna, Adel, dan Fikar-peserta olimpiade fisika SMA Bhinneka- yang sudah berada di sana bersama Pak Pras dan Bu Erni refleks mengernyit ketika melihat Alora menghampiri mereka bersama seorang lelaki tampan yang menarik lengannya.

"Gimana soal-soalnya tadi, Ra?" tanya Bu Erni ketika Alora melangkah mendekati mereka, meninggalkan cowok tampan itu di belakangnya.

"Puji Tuhan bisa ngerjainnya, Bu," jawab Alora. Gadis itu mencoba mengabaikan bisik-bisikan Ratna dan Adel di sampingnya. "Oh ya, Bu, kita nunggu sampe sore buat liat pengumuman atau pulang dulu?"

"Kalau kamu mau pulang dulu gapapa. Nanti sore dateng lagi ke sini buat liat pengumuman." Bu Erni memperbaiki letak kacamata di hidungnya. "Yang lain sih pada mau nunggu di sini."

Alora diam, berpikir sejenak. "Ya udah saya juga nunggu aja, Bu." Gadis itu berdeham lalu membasahi bibir bawahnya sekilas. "Saya ke kantin dulu ya, Bu," pamitnya.

Alora melangkah keluar ruangan setelah dibalas anggukan Bu Erni. Bryan melangkah mengikuti gadis itu dari belakang.

Bryan berdeham. "Mau makan sama gue?"

Alora masih melangkah. Gadis itu sebenarnya merutuk dalam hati. Tadi kan yang mau izin pada Bu Erni adalah Bryan. Kenapa jadi dirinya sendiri yang izin pada guru matematika itu?

Bryan tersenyum kecil melihat Alora tidak menjawab kalimatnya.

"Lo udah tau kantinnya di mana?" sindirnya melihat Alora melangkah duluan dengan pasti tanpa menoleh ke belakang.

Alora menghentikan langkahnya. Gadis itu merutuk dalam hati. Benar juga. Memangnya dia sudah tahu letak kantin SMA Cendekia di mana?

Bryan menghela napas singkat lalu meraih lengan Alora, menariknya lembut melangkah menuju kantin.

Alora yang terkejut mendapat perlakuan tiba-tiba dari Bryan hanya melangkah pasrah mengikuti cowok itu. Gadis itu diam-diam berdeham, agak merutuk ketika menyadari pipinya memanas. Alora yakin pipinya sudah memerah tak karuan.

Bryan sebenarnya sama gugupnya dengan Alora. Hanya saja cowok itu memilih mengabaikan degupan jantungnya yang menderu. Ia terus melangkah membawa Alora menuju kantin.

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang