"Dit, tukeran posisi please!"
Adit yang sibuk merunduk memainkan game di ponselnya mendecak untuk kesekian kalinya. Cowok itu jadi tidak fokus bermain sejak tadi.
"Dit, ayolah. Lo kan temen gue paling best!"
Adit mendengus lalu meletakkan ponselnya di sofa dan menatap lelaki yang dari tadi sibuk merecokinya bermain game. Adit menghela napas kesal begitu mendapat tatapan penuh harap lelaki itu. "Apa sih? Gue kan kirim ke elo mau pamer bukan mau denger lo mohon-mohon ke gue gini."
Bryan melengos. "Lo mah. Gue kan lagi PDKT, Dit. Masa lo rela jalan temen lo itu terhambat karena beda tim doang?"
"Kan elo yang kemaren mau di tim traditional game. Semangat banget malah waktu mau masuk situ," omel Adit.
Bryan meringis. "Ya kan waktu itu gue pikir Alora bakal masuk tim traditional game karena dia yang ngusulin. Eh taunya malah ke pensi. Ini kan diluar perkiraan gue, Dit."
"Yaudah lo bilang ke Kak Silvi aja minta ganti. Gue gak mau ikut-ikutan. Kalo Kak Silvi oke, yaudah gantian. Kalo enggak yaudah."
"Yaudah apa?"
"Yaudah. Paling Alora gue tikung dikit."
"Anj—huft hampir mengumpat." Bryan mengelus dadanya sabar. "Oke gue ngomong ke Kak Silvi. Awas aja kalo dibolehin tapi lo gak mau tukeran sama gue."
Adit mendengus. "Iya ah. Lagian lo juga aneh. Di sana ada si cakep Viola, eh lo malah mau satu tim sama Alora."
"Viola emang cakep, tapi gue sukanya sama Alora ya mau gimana?" Bryan bisa melihat Adit mengeluarkan lidah enek mendengar kalimat itu. "Tadi juga gue liat Viola marahin Alora."
Adit melebarkan matanya terkejut. "Marahin kenapa? Emang Alora ada salah sama tuh anak?"
Bryan menghela napas lalu bersandar santai di sofa ruang tamunya. "Biasalah. Kalo gue ceritain juga lo gak akan asing denger konfliknya."
Dahi Adit berkernyit sesaat sebelum cowok itu memangut paham. "Rebutan elo gitu? Tapi masa Alora begitu? Dia pemalu kan? Masa rebutan cowok di kwarcab. Gue yakin otak dia masih bekerja sempurna untuk ngelarang dia ngelakuin itu."
"Bukan rebutan sih. Viola gak percaya kalo gue emang deketin Alora. Terus ya gitu. Dia ngata-ngatain Alora gak pantes buat gue. Ngerendahin Alora gitu."
Adit mendecak. "Gila tuh cewek. Cantik-cantik mulutnya pedes banget sampe ngomong Alora gak pantes sama lo."
"Makanya gue gak respect sama dia meskipun dia cantik banget dan jadi rebutan temen-temen yang lain."
Adit mengangkat alis. "Emang lo suka sama Alora karena sifatnya?" Adit mendengus begitu melihat Bryan mengangguk. "Jangan muna, Der. Semua cowok kalo suka sama cewek yang pertama diliat pasti fisiknya. Gak mungkin karena sifat."
Bryan mengangkat bahu. "Gue juga gak tau. Pas liat dia sendirian di api unggun bivouac itu gue ngerasa harus jagain dia. Gue ngerasa ada sesuatu yang menarik dari dia entah apa." Cowok tampan itu bergerak memperbaiki posisi sandarannya. "Dan waktu gue ketemu dia di ruang panitia untuk ambil makanan, gue langsung deg-degan gitu aja. Entah dorongan dari mana, gue maju dan minjemin dia jaket."
Adit menghela napas. Bryan sekalinya jatuh cinta memang membingungkan. Cukup salut sih karena Bryan lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk mendekati Alora. Kalau secara logika, Alora tak terlihat lebih cantik daripada gadis lainnya.
Mungkin jika lelaki menggunakan hati dalam memilih, Alora adalah pilihan pertama. Gadis itu cantik hatinya.
Adit meraih ponselnya lagi, kembali melanjutkan game yang tadi ditinggalkannya. Sementara itu, Bryan juga meraih ponselnya dan mengetik di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...