TIGA PULUH

1.7K 120 12
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu Alora dan seluruh panitia dari komunitas pramuka kota tiba. Pagi nanti upacara pembukaan akan dimulai setelah peserta jumpa karya melakukan registrasi dan mendirikan tenda masing-masing.

Sekarang masih pukul tujuh pagi, tapi lapangan kwarcab sudah diwarnai dengan tenda-tenda yang berdiri di sana. Total sudah ada 10 tenda yang berdiri di daerah yang disediakan. Lima di kelurahan laki-laki dan lima lagi kelurahan perempuan.

Alora tersenyum tipis melihat remaja-remaja berpakaian pramuka dengan tongkat di tangan mereka—menandakan mereka masih penggalang. Alora pernah menjadi bagian dari mereka, berbaris di depan meja registrasi dan mendirikan tenda secepat-cepatnya agar punya waktu lebih panjang untuk bersiap di upacara pembukaan.

Panitia jumpa karya juga sudah sibuk hilir mudik mengurusi dan memastikan acara di hari pertama ini berjalan dengan lancar. Mereka mengenakan scraf berwarna hijau-biru-silver sehingga bisa dengan mudah dikenali.

Petugas upacara pembukaan diberi kesempatan spesial untuk mempersiapkan diri di ruang sekretariat agar tidak gugup ketika upacara pembukaan nanti. Kesempatan ini digunakan oleh mereka untuk berfoto ataupun merias diri agar terlihat lebih menarik.

Tapi tidak dengan Alora.

Gadis itu berdiri di pojok ruangan, menghadap ke jendala dan terus mengamati peserta jumpa karya yang terus saja berdatangan. Ia merasa melihat dirinya sendiri ketika datang untuk jumpa karya enam bulan yang lalu.

Saat itu Alora benar-benar tak punya teman. Gadis itu hanya mengekori teman-teman satu sangganya ke mana pun mereka pergi. Di hari kedua, barulah Alora akrab dengan Karin karena tenda ponco mereka bersebelahan ketika bivouac di bukit.

Alora masih bertahan di sudut ruangan, depan jendela. Gadis itu tak menyadari dua pasang mata sejak tadi mengamat-amatinya.

Kalau dipikir-pikir, keduanya melakukan hal yang aneh karena sejak tadi terus melihat Alora di sudut ruangan dan mengabaikan si cantik Viola yang sedari tadi sibuk berfoto bersama dengan Zahfa dan Vivian di depan kaca yang digantung di dinding sekretariat.

Bryan menghela napas dalam-dalam, berusaha melenyapkan kegugupannya, sebelum melangkah menghampiri Alora di sudut ruangan. “Ra, lo ngapain?”

Alora berbalik. Gadis itu tersenyum tipis menatap Bryan. “Gue lagi liat-liat anak-anak penggalang yang baru dateng.”

Jika ada hal lain yang perlu Alora syukuri dari jumpa karya itu, selain menemukan seorang teman dekat, maka itu adalah pertemuannya dengan Bryan.

Cowok itu membawanya merasakan banyak hal yang selama ini hanya bisa ia rasakan ketika membaca cerita. Kali ini semuanya terasa begitu nyata dan Alora benar-benar menikmatinya.

Bryan tersenyum. “Gue kira lo lagi melamun.”

Alora mengangkat alis. “Emang kenapa kalo melamun?”

“Gue gak mau lo ngelamun kalo bukan lamunin gue.” Bryan terkekeh ketika melihat Alora terdiam mendengar kalimatnya. Cowok itu menjawil ujung hidung Alora. “He, inget. Jangan melamun kalo bukan lamunin gue.”

“Alora make up dulu sini!”

Itu suara Viola. Gadis itu sebenarnya tak ada niatan menyuruh Alora merias wajah. Hanya saja ia benar-benar panas melihat perlakuan manis Bryan kepada Alora di depan matanya secara langsung.

Viola tidak habis pikir kenapa Bryan bisa-bisanya jatuh hati pada sosok Alora. Selama ini gadis itu masih tak yakin. Tapi apa yang terjadi barusan seolah menyatakan kalau apa yang didengarnya selama ini benar adanya.

Tapi apa yang Bryan lihat di diri Alora? Gadis itu tak cantik—atau setidaknya tidak secantik dan semodis Viola. Alora juga tidak asyik, terlalu datar. Mungkin hanya kepintarannya yang membuat gadis itu dikenal banyak orang.

Tapi masa Bryan menyukai Alora karena gadis itu pintar? Lagian juga belum tentu Bryan tahu tentang Alora pintar mengingat mereka tidak satu sekolah.

“Emang harus make up, Vi?” Itu suara Alfa.

Viola menghela napas. “Enggak sih, Kak. Tapi gak enak aja liatnya. Ini semua ceweknya pada make up masa Alora sendiri yang enggak.”

Bryan berdeham. “Gak usahlah, Vi. Alora begitu aja udah cantik. Entar makin banyak saingan gue kalo dia pake make up.”

Satu ruangan riuh menyoraki kalimat Bryan. Hanya tiga orang yang tak ikutan. Alora yang merunduk malu, Alfa yang melirik sinis, dan Viola yang terkejut tak percaya.

Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ada yang memuji Alora cantik di depan dirinya! Hell, Viola merasa direndahkan dengan kalimat itu! Apalagi yang mengucapkan adalah Bryan, cowok tertampan di komunitas pramuka kota.

Sementara itu, Alfa mendesis sinis. Egonya tersentil menyadari Bryan mengambil start lebih dulu di jumpa karya ini.

****

Pukul sembilan.

Lapangan utama kwarcab sudah dipenuhi oleh peserta, panitia, dan tamu jumpa karya penggalang. Upacara dibuka dengan kedatangan walikota ke lapangan upacara. Beliau-lah yang akan membuka dan menutup acara jumpa karya secara resmi.

Alora memperbaiki sarung tangannya. Gadis itu cukup gugup menyadari akan mengucap pembukaan UUD NRI dengan lantang di depan banyak orang seperti ini. Ini kesempatan pertamanya. Ia harus melakukan yang terbaik, bukan?

Alfa melirik Alora yang mengusap kedua telapak tangannya. Cowok itu tersenyum. “Gugup, Ra?”

Alora mengangkat wajah, meringis menatap Alfa. “Iya, Kak.”

“Kenapa gugup? Kan udah latihan. Bagus kok latian kita kemaren.”

“Iya sih, Kak. Tapi aku belum pernah tugas di depan orang sebanyak ini. Jadi gugup aja bawaannya.”

Alfa terdiam sejenak sebelum mengulurkan tangan, meraih kedua tangan Alora. “Biar lo gak gugup.”

Alora benar-benar terkejut menerima perlakuan tiba-tiba Alfa. Gadis itu refleks menarik tangannya dan melihat sekitar. Entahlah, dia benar-benar takut ada yang melihat.

Alfa tersenyum. “Sorry ya kalo lo gak nyaman. Gue gak mau lo terlalu gugup sampe buat kesalahan nanti.”

“Eh, iya kak. Kak Alfa gak salah kok. Aku aja yang kaget tadi.”

Alora menggigit bibir bawah, lalu mengalihkan pandangannya ke arah petugas pengibar bendera di sebelah kanan Alfa. Gadis itu menghela napas lega ketika melihat Bryan belum berada di posisinya. Tadi cowok itu pergi bersama Adit dan Revan untuk menemui Silvi.

Sebenarnya Alora juga bingung kenapa takut Bryan melihatnya dengan Alfa. Gadis itu merasa seperti selingkuh ketika bersama dengan Alfa seperti tadi. Padahal Alora-Alfa dan Alora-Bryan tidak punya hubungan apa-apa selain hubungan pertemanan.

“Upacara pembukaan jumpa karya penggalang akan segera dimulai. Peserta jumpa karya dan petugas harap segera mengambil tempat masing-masing.” Suara bulat Karin di depan mikrofon terdengar jelas membuat peserta jumpa karya yang berjongkok atau masih duduk segera menyempurnakan posisi mereka.

Alora melirik ke sebelah kirinya ketika seorang laki-laki melesat ke sampingnya. Gadis itu terkejut ketika menemukan Bryan yang berdiri di sebelah kirinya. Hei, itu posisi Adit!

“Kenapa lo di sini?”

Bryan yang tengah nyengir lebar langsung mendengus sebal mendengar suara dingin Alfa. “Sabar. Gue mau nyemangatin pujaan hati dulu.” Cowok itu merunduk mengarahkan pandangannya pada Alora yang merutuk malu.
“Semangat ya, Ra. Gue yakin lo bisa. Kalo gugup sebut nama gue aja tiga kali,” bisik Bryan.

Punggung Alora menegak begitu saja ketika mendengar nada lembut Bryan di telinganya. Entah bagaimana, tapi seakan ada suntikan semangat yang mengalir dalam dirinya. Alora tersenyum tipis. “Makasih, Bryan.”

Bryan tersenyum. “Sama-sama.” Cowok itu mengusap sekilas puncak kepala Alora sebelum melangkah bertukar tempat ke sisi kanan Alfa.

Ah cowok ini benar-benar manis.

****





A.N :
Badai mana woi badai dasar author:(

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang