"Ra?"
Alora menoleh ketika namanya dipanggil. "Hm?"
Adit mengernyit melihat gadis itu. "Lo gapapa? Kalo sakit mending pulang deh." Sejak tadi, sudah tiga kali Adit menyuruh gadis itu pulang. Hari ini Alora banyak melamun, ditambah dengan tubuhnya yang dibalut jaket dan mengenakan masker pada wajahnya. Alora tampak tidak dalam kondisi yang baik.
"Gue gapapa." Alora tersenyum dibalik masker yang ia kenakan. Gadis itu lalu kembali merunduk pada buku tulisnya. Ia bahkan mengabaikan guru les yang tengah menjelaskan materi stokiometri sederhana di depan.
Alora menghela napas. Gadis itu sadar bahwa sebagian besar energinya hari ini terkuras karena perkataan Monika dan Frans tadi. Alora juga sadar kalau ini semua salahnya karena tidak menuruti omongan Monika.
Tapi Alora juga butuh refreshing kan? Kenapa dia tidak mendapat izin untuk itu?
"Dit."
Adit hampir terloncat kaget mendengar suara parau Alora. Tumben sekali gadis itu memanggilnya lebih dulu. "Kenapa?"
"Kalo lo dipaksa ngelakuin apa yang lo gak suka dan dilarang ngelakuin hal yang bikin lo seneng, lo bakal gimana?" tanya Alora dengan suara kecil. Untung saja guru lesnya itu masih sibuk dengan molar dan molal di depan.
"Ya gue ngelawan," ucap Adit. Tangannya masih bergerak menulis rumus di papan tulis. "Gue bilang kalo gue suka sama hal yang dilarang itu. Lagi pula semua orang punya hak untuk seneng kan?"
Alora terdiam beberapa saat sebelum kembali membuka suara. "Tapi kalo yang larang lo adalah orang yang paling berpengaruh di hidup lo gimana?"
Adit mengangkat alis. Cowok itu meletakkan penanya. "Kalo dia orang yang paling berpengaruh di hidup lo, dia pasti enggak akan larang lo untuk itu kan? Kalo dia orang yang paling berpengaruh di hidup lo, harusnya dia tau tentang apa yang lo suka."
Alora terdiam. Benar juga. Harusnya kedua orangtuanya tahu tentang apa yang ia sukai dan mendukungnya. Bukan melarangnya untuk melakukan apa yang ia sukai dan malah menyuruhnya melakukan apa yang tidak ia sukai.
"Kok tiba-tiba nanya gitu? Kenapa, Ra?" tanya Adit.
Alora menggeleng. "Gapapa. Gue cuma mau nanya aja." Gadis itu tersenyum di ujung kalimatnya, membuat Adit memangut lalu kembali meraih pulpennya untuk menyalin rumus di papan tulis ke bukunya.
Alora masih bergeming. Gadis itu menghela napas. Ia meraih pulpennya dan kembali fokus dengan senyawa-senyawa di depan.
Jika dengan membantah dia bisa bahagia dengan pilihannya, haruskah Alora mencoba?
****
Alora merebahkan diri di ranjang. Ia baru saja tiba di rumah dan memilih untuk langsung masuk ke kamar dan mengunci diri.
Alora tidak menemukan Frans dan Monika sejak masuk ke rumah ini. Entah keduanya ada di mana. Mungkin saja mereka sedang sibuk.
Alora memandang langit-langit kamarnya, memikirkan kembali percakapannya dengan Adit di tempat les tadi.
Sejujurnya Alora tidak pernah berpikir untuk menjadi anak pembangkang. Gadis itu selalu menuruti kedua orangtuanya karena ia yakin orangtua tahu yang terbaik untuknya.
Alora memang sempat beberapa kali berada di titik jenuh dan lelah dalam rutinitasnya. Tapi Alora belum pernah berpikiran untuk membantah kedua orangtuanya karena kejenuhan itu.
Selama ini Alora tidak menyukai teman-temannya yang menjadi nakal karena kekurangan kasih sayang kedua orangtuanya. Gadis itu merasa senasib dengan mereka. Ia juga butuh kasih sayang dan perhatian dari Frans dan Monika.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...