DUA PULUH EMPAT

1.8K 114 13
                                    

Alora tak bisa menahan keterkejutan sejak detik pertama matanya menatap Bryan di ruangan ini. Gadis itu menggigit bibir. Sekali lagi, ia melirik pemuda yang tengah sibuk menonton pentas seni dari kursi sebelahnya. Sepertinya Adit memang sengaja pergi ke toilet untuk membiarkan Bryan berdua dengannya di sini.

Alora bingung harus kesal atau berterima kasih pada Adit yang meninggalkan dirinya.

“Ra.”

Alora tersentak kaget, hampir terlompat dari kursinya. Gadis itu merutuk dalam hati. Untung saja hal itu tidak terjadi. Kalau terjadi, Alora pasti akan benar-benar malu!

“Kenapa?”

Bryan mengedikkan dagunya ke arah panggung. “Panggungnya di depan. Kenapa lirik-lirik ke samping terus dari tadi?”

Alora tergagap. Sial. Berarti dari tadi Bryan menyadari kalau gadis itu meliriknya berkali-kali!

Bryan tak bisa menahan senyum melihat wajah memerah Alora. Cowok itu jadi memperbaiki posisi duduk menghadap Alora sepenuhnya. “Yaudah nonton pensinya diganti liatin muka gue aja ya?”

Wajah Alora makin memerah. Gadis itu tak bisa menahan pipinya yang memanas memandang Bryan dari jarak sedekat ini. Alora berdeham, mengubah posisi duduknya jadi lebih maju agar bisa menonton pentas seni lebih fokus dan mengabaikan Bryan yang masih menahan tatapannya pada Alora.

Sayangnya meski ditahan sekuat tenaga, tetap saja Alora tak bisa menahan matanya untuk tidak melirik pemuda yang masih menatapnya itu.

Bryan mengangkat alis lalu terkekeh. “Liat mah liat aja, Ra. Jangan malu-malu gitu. Gue jadi GR kalo lo salting sama gue nih,” goda Bryan.

Sekali lagi Alora merutuki dirinya sendiri. Sial. Bryan benar-benar menyebalkan.

Alora berdeham, berusaha tak menoleh lagi. Kali ini Bryan ikut menonton pentas seni di panggung, tak lagi menatap gadis di sampingnya ini sepenuhnya. Meski dirinya tak bisa menahan senyum ketika tak sengaja melirik dan melihat wajah Alora.

Bryan tak bisa memungkiri bahwa ada rasa bahagia yang benar-benar meluap ketika melihat wajah memerah Alora karena dirinya.

****

Alora tak tahu akan sebahagia ini ketika memiliki seseorang yang spesial di dalam hidupnya yang selama ini terlalu datar dan membosankan. Cowok di sampingnya ini memberi warna baru dalam hidupnya yang selama ini hanya mengenal warna putih—taat pada semua yang diperintahkan dan menjalankan semuanya dengan teratur.

Hidup Alora selama sekian belas tahun ini terlalu datar. Gadis itu belum pernah merasa dicintai sebesar ini oleh seseorang. Alora bahkan tak pernah jatuh cinta. Ia membatasi dirinya karena merasa bahwa ia bukan sosok yang layak untuk merasakan jatuh cinta.

Tapi kedatangan Bryan Ivander mengubah semuanya.

Alora memang belum bisa mengatakan kalau gadis itu mencintai Bryan. Tapi semua kenyamanan yang ditimbulkan pemuda itu sudah lebih dari cukup mewakili kata-kata yang harus diungkapkan Alora pada orang lain maupun pada dirinya sendiri.

Rasa nyaman yang dirasakan Alora adalah jawaban atas perasaan yang selama ini ia tanyakan bagaimana rasanya.

Tak bisa dipungkiri bahwa Alora sendiri sering bertanya-tanya apa rasanya jatuh cinta, apa rasanya menyukai orang, dan apa rasanya diperlakukan spesial oleh seseorang. Tapi hanya sebatas itu. Gadis itu tak pernah melakukan lebih jauh dari sekedar bertanya pada dirinya sendiri.

“Ra, mau pulang bareng?”

Alora mengerjap menatap Bryan. Pentas seni sudah selesai pada pukul setengah dua siang dan Alora ingat kalau Pak Muri baru akan menjemputnya pukul setengah tiga. Artinya Alora harus menunggu kurang dari satu jam lagi.

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang