Adit menatap tajam Bryan yang kini berdiri di depannya. "Lo kemana aja sih?! Gue telpon gak lo angkat, gue chat gak dibales. Lo pergi tanpa pamit ke nyokap lo. Dia panik nyariin lo apalagi lo bawa motor setelah jatuh di tikungan tadi."
Lima meter dari posisi keduanya berdiri berhadapan, Afi, Fredi, dan Denis saling berpandangan. Ketiganya tak pernah melihat Adit seemosi ini bicara pada Bryan. Adit adalah manusia paling santai yang pernah mereka kenal. Adit yang datang dengan emosi beberapa saat yang lalu benar-benar membuat ketiganya terkejut.
"Jawab gue!" seru Adit kesal. Ia benar-benar kesal melihat Bryan hanya menatapnya datar tanpa rasa bersalah.
Bryan menghela napas. Cowok itu berpaling menatap Afi, Fredi, dan Denis. "Gue balik duluan." Tanpa mengatakan apa pun, Bryan melangkah meninggalkan mereka menuju motornya.
Adit mendecak sebal. Ia memilih mengikuti Bryan menuju motor cowok itu. "Jangan ngebut-ngebut. Pikirin nyokap lo di rumah."
Bryan mengangguk sekilas sebelum mengenakan helmnya. Cowok itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Bryan melirik spion motornya. Ia bisa melihat Adit mengikuti motornya dari belakang. Sobatnya itu pasti tak ingin terjadi hal yang buruk padanya.
Sesampainya di rumah Bryan, Adit tidak langsung pulang. Cowok itu memilih untuk menginap di rumah Bryan. Adit mengerti bahwa Bryan sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan ceritanya.
"Bryan! Kamu ke mana aja?" Suara Retha langsung terdengar ketika pintu rumah baru saja dibuka.
"Bryan tadi main basket sama temen-temennya, Tan. Dia gak kenapa-kenapa kok." Adit memilih untuk menjawabnya duluan.
"Untung ada Adit. Kalo enggak, Mama gak tau mau nyari kamu ke mana," ucap Retha. "Yaudah sana kalian istirahat. Adit mau nginep?"
Adit mengangguk. "Iya, tan. Boleh kan?"
"Bolehlah. Kamu juga udah sering di sini. Temenin Bryan ya."
Adit mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih pada Retha, Adit melangkah menuju kamar Bryan. Si empunya kamar melangkah di depannya.
"Sebenernya lo kenapa sih, Der? Seumur-umur gue gak pernah liat lo begini." Adit tak bisa menahan dirinya untuk tidak langsung bertanya.
Bryan melempar tubuhnya ke ranjang. "Gue kayaknya nyerah sampe sini aja, Dit."
Adit mengenyit. "Nyerah apaan?"
Bryan menghela napas dalam-dalam. "Alora nolak gue tadi."
Adit yang baru saja menyandarkan punggungnya di kursi langsung berdiri dengan mata membelalak. "Lo... nembak dia?" Mata Adit semakin membelalak ketika Bryan mengangguk. "Kapan?"
"Gue ngobrol sama dia di depan tempat les lo. Terus gue spontan nanya sebenernya dia tuh punya perasaan gak sih sama gue. Dan dia jawab dia anggap gue temennya."
"Gara-gara itu lo mundur?" tanya Adit.
Bryan menggeleng. "Kalo cuma karena itu, gue gak akan milih untuk mundur."
"Jadi?"
Bryan tak menjawab. Cowok itu hanya menyerahkan ponselnya pada Adit, membiarkan sobatnya itu melihat sendiri apa yang dikirimkan Karin padanya tadi sore.
Adit melebarkan mata. "Alfa?!"
"Hm. Itu alasan kenapa gue milih untuk mundur."
Adit mengulum bibirnya. "Der, lo beneran mau mundur?"
"Emang kenapa?" tanya Bryan datar. Cowok itu masih menatap langit-langit kamar tanpa menoleh ke arah Adit yang tengah bicara dengannya.
"Ya lo pikirin aja perjuangan lo ke dia selama ini gimana. Mulai dari lo deketin dia di jumpa karya sampe sekarang. Udah lebih dari enam bulan, Der. Sayang banget kalo lo mundur karena itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...