Hari kedua. Hari ini persiapan untuk jumpa karya dilakukan kembali di kantor kwarcab. Agenda hari ini adalah latihan untuk upacara pembukaan dan penyambutan Bapak Walikota yang nanti akan hadir di pembukaan jumpa karya penggalang ini.
"Yang saya sebut namanya silahkan ke depan." Suara lantang Silvi terdengar jelas oleh seluruh anggota komunitas pramuka kota yang duduk dalam barisan di tengah lapangan upacara. Gadis itu memang punya suara lantang yang khas. "Ali Reymea sebagai pemimpin upacara; Karina Mikha sebagai protokol; Vivian sebagai dirigen lagu Indonesia Raya; Zahfa Arumi sebagai petugas doa; Aditya, Alora Helsa, dan Billian Alfa sebagai pengucap Pancasila, pembukaan UUD NRI 1945, dan dasadarma; yang terakhir, Revan Putra, Viola Anggun, dan Bryan Ivander sebagai pengibar bendera."
Adit merangkul Bryan di sampingnya untuk segera maju. Bryan sudah menghela napas sejak namanya Alora disebut tidak dalam "satu paket" dengannya.
Dan juga kenapa harus Viola yang menjadi pengibar bendera bersamanya? Memangnya tidak ada gadis lain? Kenapa tidak Alora saja?
"Gak usah ngambekan njir. Buruan maju," omel Adit. Cowok itu ganti menarik lengan Bryan untuk berdiri dan bergerak ke depan. Dalam hati prihatin juga melihat temannya yang terkenal tampan ini jadi senorak ini karena jatuh cinta.
Bryan melengos lalu berdiri dari duduknya. Cowok itu melangkah ke depan. Matanya sempat melirik Alora yang sudah berada di sebelah Alfa. Tanpa sadar cowok itu melirik tajam Alfa.
Awas saja kalau Alfa sampai berani mendekati Alora.
"Bryan, berdiri di sini dong sama aku sama Kak Revan. Kita kan sama-sama pengibar bendera."
Tanpa melihat pun Bryan tahu suara itu milik Viola. Sial. Gara-gara kejadian kemarin ia benar-benar kehilangan respect pada gadis cantik itu.
Bryan memang tak pernah menaruh hati pada Viola. Sebelumnya Bryan tak pernah berpikiran buruk atau risih ketika Viola mendekatinya. Tapi perilaku gadis itu pada Alora kemarin seolah menjelaskan betapa tak sukanya gadis itu pada Alora.
Siapa pun yang tak suka pada Alora, orang itu akan kehilangan respect dari seorang Bryan Ivander yang terkenal tak pernah membenci orang lain.
Terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataannya.
"Nah, waktu upacara pembukaan nanti kalian yang tugas. Upacara penutupan kemungkinan beda orang. Besok sebelum latihan akan saya umumin siapa yang bertugas di upacara penutupan," jelas Silvi. "Teman-teman lain yang tidak bertugas, nanti ketika upacara pembukaan tolong membantu peserta jumpa karya berbaris dan juga membantu kalau ada barang lain yang dibutuhkan tapi belum dibawa. Kita usahakan untuk menepati jadwal yang sudah dibuat. Upacara pembukaan menjadi kunci utama di hari pertama. Kalau upacara pembukaan kita terlambat, maka kegiatan lain di hari pertama juga akan terlambat. Paham semua?"
"Siap paham!"
Silvi tersenyum mendengar sahutan teman-teman sekomunitasnya. "Oke sekarang yang dapat tugas upacara pembukaan silahkan latihan di sini. Yang lainnya ke tim koordinator masing-masing."
Kalimat Silvi membubarkan teman-teman komunitas pramuka kota yang duduk di tengah lapangan. Masing-masing melangkah ke area tugas mereka.
Bryan berdeham lalu merapat pada Adit. "Jagain Alora. Awas macem-macem lo," bisiknya.
Adit terkekeh mendengar itu. "Aman. Doain gue gak baper ya deketan sama dia."
"Yeu anying."
Tawa Adit pecah mendengar umpatan temannya itu. Seru juga membuat Bryan kesal seperti ini. Tapi tenang saja. Itu sekedar di ucapan. Adit tak pernah merealisasikan ucapannya yang menggoda Bryan tentang Alora. Ia tidak mungkin makan teman sendiri kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...