DUA PULUH DUA

1.8K 119 11
                                    

Pagi ini terhitung sudah tiga kali Alora mematut dirinya di depan cermin. Alora hanya sekedar merapikan kuncirannya dan memperbaiki kaus polo yang ia kenakan. Gadis itu sempat memoles bedak tabur pada wajahnya, tapi ketika ia ke toilet, dengan tak bersalahnya, ia mencuci muka, tanpa ingat kalau tadi wajahnya sudah dipoles oleh bedak.

Alora tak pernah segugup ini hanya untuk pergi ke tempat les. Tapi kali ini, semuanya lebih dari sekedar 'hanya'.

Hari ini Bryan akan datang ke tempat lesnya entah untuk apa. Tapi Alora boleh GR kan kalau cowok itu ingin menemuinya? Apalagi Bryan mengatakan akan datang untuk melihatnya.

Hari ini pensi penutup tahun ajaran ganjil di tempat les yang Alora ikuti. Kebiasaan ini rutin dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu sebagai ajang anak-anak les untuk berbagi kesenangan satu dengan yang lain. Alora tidak ikut tampil karena gadis itu tidak ikut dalam latihan yang diadakan. Alora lebih memilih mempersiapkan jumpa karya yang akan diadakan daripada pensi di tempat lesnya. Mungkin Adit juga begitu.

Alora tersentak kecil mengingat Adit juga satu les dengannya. Apa mungkin Bryan hanya ingin mengantar Adit mengingat keduanya begitu dekat? Atau mungkin Bryan ada keperluan dengan Adit di jam-jam setelah ia latihan basket makanya cowok itu mendatangi tempat les?

Alora menghela napas. Sudahlah. Ia tidak boleh memikirkan semuanya secara berlebihan. Lagi pula tak ada gunanya jika Alora negative thinking seperti itu.

Alora meraih tas lesnya lalu segera melangkah keluar. Gadis itu langsung menghampiri Pak Muri yang sudah menunggu di mobil untuk mengantar Alora.

“Ayo, Pak, berangkat.” Alora menutup pintu mobil, membuat Pak Muri menoleh menatap anak majikannya itu.

“Neng, nanti mau dijemput jam berapa?” tanya Pak Muri. “Neng kemaren kan bilang acara pensi aja hari ini. Pulangnya sama kayak biasa atau gimana?”

Alora terdiam. Hari ini Bryan ke tempat lesnya. Apa Alora pulang bersama Bryan saja? Cowok itu kan sering kali menawari Alora pulang bersama.

Alora menggigit bibir bawahnya. “Hm, jemput jam setengah tiga aja, Pak.”

“Oke, Neng.” Pak Muri menjalankan mobil keluar halaman rumah menuju tempat bimbel Alora.

Alora menyandarkan punggungnya ke jok mobil. Ia belum seberani itu untuk mengajak Bryan ke rumahnya meski hanya sekedar mengantar.

****

Alora sampai ke tempat les ketika sudah suasana sudah ramai. Gadis itu geli sendiri menyadari teman-temannya lebih semangat untuk pensi daripada belajar seperti hari-hari biasa sebelumnya. Mungkin kreativitas mereka lebih terupgrade dengan pensi ini daripada dengan belajar.

Alora mencari bangku yang kosong di bagian tengah. Karena tidak tampil, Alora menjadi penonton bersama teman-teman yang juga tidak tampil dan juga teman-teman yang belum tampil. Ada guru-guru les juga yang memenuhi bangku penonton bagian depan. Mereka memakai seragam yang sama. Mungkin akan ada persembahan tampilan dari mereka juga.

Alora menoleh ketika orang-orang yang tak dikenalnya mulai masuk. Gadis itu mengernyit. Meski tidak bergaul secara intens dengan teman-teman di tempat lesnya ini, Alora bisa mengingat dengan baik wajah-wajah mereka.

Pandangan Alora kemudian menyendu ketika mengetahui yang datang tadi adalah orangtua dari teman-temannya di bimbel ini. Kedua orangtua siswa memang juga turut diundang. Tapi seperti biasa, Monika dan Frans tidak bisa datang ke acara ini karena sibuk dengan tumpukan pekerjaan mereka yang super berharga itu.

Alora mendengus, mengusap ujung matanya yang basah. Tidak. Ia tidak boleh menangis di tempat umum seperti ini. Gadis itu berusaha memasang wajah ceria menatap orang-orang yang memenuhi bangku penonton. Sesekali Alora membalas sapaan mereka yang menyapanya.

Alora memang dikenal sebagai gadis terpintar di bimbel ini. Tapi tak seorang pun mau berteman dekat dengannya karena Alora terlalu pendiam dan terisolasi. Dikatakan begitu karena gadis itu benar-benar hanya datang untuk belajar kemudian pulang, tak ada obrolan-obrolan seru setelah les ataupun sebelum les.

Gadis itu terlalu pendiam dan tak banyak orang yang betah di dekat orang-orang yang pendiam.

“Alora!”

Alora menoleh ke sumber suara. Gadis itu tersenyum tipis begitu menemukan Adit melangkah duduk di sisinya. “Hai, Dit.”

“Eh gue duduk di sini gapapa kan?” Alora mengangguk menjawab pertanyaan Adit. “Lo udah lama, Ra?”

“Belum. Baru sampe lima menit lalu.”

Adit memangut paham. “Gak ikut tampil sama yang lain, Ra?” Alora menggeleng. “Kenapa?”

“Gue gak ikut latihan karena nyiapin jumpa karya itu.”

Adit memangut. “Berarti kita sama.” Cowok itu terkekeh. “Eh, iya, si Vander mau ke sini nanti.”

Alora mengernyit. “Vander?”

“Bryan maksud gue.”

“Kenapa manggilnya Vander?”

“Nama dia kan Bryan Ivander jadi gue panggil Vander. Dari dulu kebiasaan manggil dia gitu jadi susah kalo manggil Bryan.” Adit meringis.

Alora tersenyum tipis. “Lucu banget Vander,” gumamnya tanpa sadar.

Adit mengangkat alis. Cowok itu seperti mendengar Alora bicara, tapi suaranya benar-benar pelan sehingga tak terdengar jelas. “Apa?”

Alora tersentak kecil. “Ha? Ah, enggak. Gapapa.” Alora merutuk dalam hati kenapa kalimat itu bsia dengan mudah keluar dari bibirnya. Kenapa juga Alora harus memuji seperti itu?

“Iya deh gue yang salah denger.” Adit terkekeh. “Ah iya lo udah tau si Vander mau ke sini?”

Alora mengangguk. “Kemaren dia ngomong ke gue.”

“Iyalah dia mau ketemu sama lo.”

Alora sadar hatinya berdesir hangat mendengar kalimat itu. Selama ini tak pernah ada yang memperlakukannya sespesial ini. Dan Bryan adalah orang pertama yang tak akan Alora lupakan.

“Ra, kalo Vander, maksud gue Bryan nembak lo, lo terima?”

Alora membeku, tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu saat ini. Alora tak buta, ia tahu suatu saat ia akan menerima pertanyaan itu entah dari Adit terlebih dahulu atau dari Bryan secara langsung. Tapi ini semua terlalu cepat.

Adit yang mengerti gelagat Alora langsung menepuk pundak gadis itu. “Kalo lo gak bisa jawab, gak usah jawab gapapa. Gue juga gak maksa. Hak lo untuk jawab ataupun gak jawab apa yang gue tanyain.”

Alora tersenyum. Dalam hati, gadis itu bersyukur Adit tak memaksanya untuk menjawab. Lagi pula Alora memang belum yakin seratus persen akan menjawab ya untuk pertanyaan itu. Sebagian dalam dirinya menolak untuk merasakan jatuh cinta apalagi menjalin hubungan spesial. Alora merasa ia bukan orang yang layak merasakan cinta.

Tapi ia tahu jelas akan ada penyesalan jika ia mengatakan tidak untuk pertanyaan tadi. Alora jelas tahu kalau Bryan memberinya kenyamanan yang selama ini ia cari dan Alora menyukainya.

Alora menghentikan semua pemikirannya ketika MC mulai naik ke panggung. Gadis itu menghela napas dalam-dalam.

****






A.N :
Mampir di ig aku dong : jessicanth_ hehe

Jangan lupa voment dan share ya. God bless❤️

PRAMUKA IN LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang