“Bryan, lo bantu pos LKBB tiga dulu sana. Di sana cuma dua orang,” pinta Rafel. “Bantuin atur barisan adek-adek penggalang. Entar kasih tau mereka tugasnya apa aja.”
Bryan mengangguk. Cowok itu beranjak dari duduknya. “Pos tiga di lapangan barat kan?”
“Iya.” Rafel mengecek buku catatannya sekilas sebelum kembali mengangkat wajah menatap Bryan. “Entar malem lo di bivouac ya.”
Bryan mengangkat alis. “Gue di aula aja deh, Kak. Bantu yang pensi.”
“Gak gak. Lo entar malah pacaran aja di sana,” sindir Rafel. Sejak kejadian egrang itu memang hampir semua orang sudah tahu tentang Bryan dan Alora. “Bantu di bivouac aja. Di sana butuh banyak tenaga.”
Bryan melengos. Mau tak mau menuruti saja permintaan seniornya itu. “Semua panitia kecuali koordinator pensi yang ke bivouac, Kak? Rame banget.”
“Enggak. Pengurus inti sama beberapa panitia cewek tetep di buper jagain tenda,” jawab Rafel. “Dah ya gue mau ke pos dua LKBB dulu.” Cowok itu menepuk sekilas pundak Bryan sebelum melangkah pergi.
Bryan mendecak. Cowok itu melangkah dengan kesal. Kalau pengurus inti tetap di buper, maka Alfa, si sekretaris itu pasti mendekati Alora dengan lebih leluasa. Apalagi tidak ada Bryan.
Sial. Bryan bisa kecolongan lagi kalau begini caranya.
****
“Balik kanan bubar, jalan!”
Peserta jumpa karya di pos tiga LKBB memberi penghormatan dulu sebelum bubar ke tenda masing-masing. Kegiatan pertama hari ini yang diisi dengan LKBB sudah selesai.
Selanjutnya, peserta jumpa karya diberi waktu istirahat sejam untuk makan dan berganti pakaian. Setelah ini mereka akan masuk ke kegiatan kedua, gladian pemimpin regu.
Bryan menghampiri Reno, seniornya yang menjadi penanggung jawab kegiatan LKBB ini. “Kak, abis ini kita ngapain lagi?”
Reno merunduk membaca jadwal di ponselnya. “Hm, kita siap-siap untuk bivouac. Gladian pemimpin regu udah diurus sama Kak Dika,” jawabnya. “Oh ya, untuk bivouac nanti, lo disuruh nginep gak sama Kak Rafel?”
Bryan mengangkat bahu. “Tadi Kak Rafel cuma bilang kalo malem ini gue bantu di lokasi bivouac. Gak dikasih tau nginep atau enggak di sananya.”
“Yaudah nginep aja. Bawa sleeping bag gak?” Bryan mengangguk. “Bagus kalo gitu. Yaudah sana lo siap-siap. Gue mau makan dulu.” Reno menepuk pundak Bryan sekilas sebelum melangkah meninggalkan juniornya itu.
Bryan melengos panjang. Kenapa juga harus dirinya yang ikut ke bivouac? Kenapa gak si Alfa aja? Kalo Bryan ninggalin Alora di sini, sudah jelas Alfa akan mengambil kesempatan untuk mendekati gadis itu.
“Vander!"
Bryan mendengus memandang Adit yang berlari kecil menghampirinya. “Apa?!”
“Santai anjir nge-gas aja lo,” omel Adit. “Napa dah?”
“Gue disuruh nginep di lokasi bivouac malem ini.”
Adit mengangkat alis. “Lah terus kenapa?”
Bryan melengos. “Pengurus inti, koordinator pensi, sama beberapa anggota cewek gak ikut ke sana. Artinya Alora gak ikut. Alfa juga pasti gak ikut karena tuh anak sekretaris.”
Adit memangut. “Lo takut Alfa deketin Alora?” Adit terkekeh melihat Bryan yang terdiam dengan wajah keruh. “Yaelah, Der. Santai aja kenapa sih? Lo tuh sering banget begini deh.”
“Gimana gue mau santai njir, si Alfa udah ngungkapin duluan ke Alora. Makin di depan lah tuh anak.”
“Emangnya yamaha,” celetuk Adit dengan tawa di ujung kalimatnya. “Tapi ya, Der. Lo kan juga udah pernah ungkapin perasaan lo ke Alora waktu lo izin mau PDKT ke dia.”
Bryan tersentak. Cowok itu terdiam, baru menyadari ia sudah pernah mengungkapkan perasaannya pada Alora jauh lebih dulu daripada Alfa.
Bahu Bryan meringan begitu saja. Benar juga. Kenapa selama ini dia tidak pernah berpikir sejauh itu?
Kenapa juga Adit yang kepikiran duluan? Emangnya Adit lebih pinter dari dia?
“Dit, Alora masih di aula?” tanya Bryan.
Adit mengangguk. “Iya masih di sono. Udah ayo makan. Gue laper banget dari tadi.”
“Duluan deh. Gue mau ngajakin Alora. Bye!” Bryan berlari kecil menuju aula setelah menepuk pundak Adit sekilas.
“He Bryan!” teriaknya sebal. “Anying gue ditinggal. Dasar kampret!"
****
“Hai Alora.”
Alora yang baru menutup pintu aula terkejut setengah mati mendengar suara seseorang di belakangnya. Gadis itu hampir saja terlompat kecil.
“Kak Alfa?”
Alfa tersenyum. “Kenapa belum ke ruang makan? Udah jam makan siang kan?”
“Ah, aku baru selesai matiin sound mixer jadi terakhir keluar dari aula.”
Alfa memangut. “Hm, kalo gitu kita ambil makanan di ruang panitia bareng aja yuk.”“Hm, boleh, Kak. Tapi aku ke toilet dulu ya, Kak.”
“Oke. Gue tunggu di sini ya.”
Alora mengangguk lalu melangkah ke toilet terdekat dari aula. Di lokasi jumpa karya ini, jarak satu toilet dengan toilet yang lain cukup jauh. Toiletnya memang banyak, hanya saja tempatnya memang berjauhan satu dengan yang lain.
Alora keluar dari bilik toilet sambil merunduk merapikan pakaiannya. Gadis itu lalu melangkah ke wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya.
“Hai, Alora.”
Alora mengangkat wajah. Gadis itu tersentak melihat Bryan tengah bersandar di dinding samping wastafel toilet. “Lo ngapain di sini?”
Bryan menegakkan punggungnya ketika mendengar nada panik Alora. “Gue gak ngintip, Ra. Jangan panik gitu.”
Alora menghela napas. “Bu-bukan gitu. G-gue cuma kaget lo kenapa di depan toilet gini.”
Bryan tersenyum tipis. Cowok itu mengulurkan tangannya, mengacak lembut puncak kepala Alora. “Tadi gue mau nyamperin lo ke aula. Tapi kayaknya keduluan sama Alfa. Untung aja lo ke toilet sendirian jadi gue bisa samperin ke sini,” jelas Bryan. Cowok itu meraih lengan Alora. “Karena gue udah nungguin lo sejak lo masuk ke toilet, lo harus makan siang sama gue.”
Wajah Alora memanas begitu saja menyadari cowok ini berjarak tak jauh dari hadapannya. “T-tapi gue udah ngomong sama Kak Alfa mau bareng dia tadi.”
“Gue yang ngomong sama dia kalo lo makan siang sama gue.” Cowok itu menarik lembut lengan Alora menghampiri Alfa di depan aula.
Alora yang ditarik hanya mengikuti langkah Bryan dengan pasrah. Gadis itu tak banyak memrotes. Lagi pula Alora tentu saja lebih memilih makan siang bersama Bryan daripada Alfa.
Alfa mengernyit melihat Alora menghampirinya bersama Bryan. Garis wajahnya berubah begitu saja melihat Bryan menarik lengan Alora.
Alfa menghela napas dalam-dalam, berusaha menguasai emosinya. Tidak mungkin ia memaki Bryan di depan Alora. Gadis itu bisa langsung tak menyukainya.
“Eh, Kak Alfa,” ucap Bryan dengan manis. Alfa mendecih sinis dalam hati mendengar suara sok manis Bryan. “Kak Alfa nungguin Alora ya? Tapi Aloranya mau bareng gue. Gapapa kan?” Bryan tertawa dalam hati melihat ekspresi keruh Alfa. Bryan bisa menebak kalau seniornya itu sedang menahan emosi.
Alfa berdeham menatap Alora. “Alora bareng Bryan?”
Alora menggigit bibir bawahnya. Gadis itu lalu mengangguk canggung. “Eung, iya, Kak. Maaf ya.”
“Hm, yaudah gapapa. Nanti malem aja makan barengnya.” Alfa menatap Bryan dengan senyum miring. “Lo nanti malem ke lokasi bivouac kan?”
Sial.
****
A.N :
Kalian pernah gak berada di posisi takut banget ngelakuin sesuatu, tapi kalo kalian gak lakuin, akan ada sedikit ketidaknyamanan?Kalo pernah tulis di komen dong. Aku pengen tau:3
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...