Adit mendecak kesal untuk kesekian kalinya ketika ponsel Bryan tidak bisa dihubungi. Adit sudah mencoba menghubungi sobatnya itu sejak pulang dari jalan bersama Rahel setengah jam yang lalu. Tapi Bryan sama sekali tidak mengangkat telponnnya.
Tadi, Retha, ibu Bryan, bilang kalau anaknya itu pergi tanpa pamitan. Bryan jarang sekali seperti ini. Cowok itu selalu mengabari ketika ingin pergi ke luar.
Kepanikan Adit semakin menjadi ketika Retha mengatakan bahwa Bryan sempat jatuh dari motor ketika pulang ke rumah tadi sore. Katanya cowok itu jatuh karena jalanan yang licin.
Sebenarnya Adit sedikit curiga. Bryan bukan tipe pengendara motor yang bodoh—yang mau mau saja untuk ngebut ketika jalanan sedang licin. Cowok itu pasti punya alasan kenapa bisa jatuh di jalanan seperti itu.
Satu-satunya alasan yang terlintas di benak Adit adalah Alora, mengingat gadis itu tadi siang bertemu dengan Bryan setelah pulang les. Bisa jadi ada kejadian tak menyenangkan di antara keduanya yang membuat Bryan jadi seperti ini.
Adit juga sudah mencoba menghubungi Alora, tapi ponsel Alora masih tidak aktif. Cowok itu semakin kesal dibuatnya. Dia benar-benar panik.
"Adit," panggil Retha. Wanita itu menghampiri Adit di sofa ruang tamu. "Kamu udah dapet kabar tentang Bryan?"
Adit menggeleng dengan berat hati. "Aku masih coba nanya ke temen-temen yang lain siapa tau mereka liat Ivander. Tante jangan panik pokoknya ya. Aku yakin Ivander gak kenapa-napa kok."
Retha mengangguk lemas. "Tante gak masalah kalo dia pergi dengan keadaan sehat. Tapi ini kan dia baru jatuh dari motor. Tante takutnya dia kenapa-napa."
"Motornya dibawa, Tan?" tanya Adit. Retha mengangguk. "Yaudah tante tunggu aja. Adit telpon temen-temen yang lain dulu. Tante istirahat aja."
Retha tersenyum tipis. "Makasih ya, Dit." Wanita itu beranjak menuju kamarnya, membiarkan Adit menelpon teman-temannya yang lain untuk menanyakan perihal anak semata wayangnya itu.
Adit menyenderkan punggungnya di sofa, berusaha memikirkan kira-kira ke mana perginya sobatnya itu. Hanya ada tiga kemungkinan. Kantor kwarcab, lapangan basket, atau sekolah. Bryan tidak pernah pergi jauh-jauh dari situ.
Tanpa pikir panjang, Adit menyambar jaket dan kunci motornya. Cowok itu buru-buru menghampiri motornya. Adit yakin, Bryan ada di salah satu dari tiga tempat itu.
****
Alora melepas helm, lalu memberikannya kepada Alfa. Gadis itu tersenyum tipis. "Makasih ya, Kak."
Alfa menerima uluran helm dari Alora. "Sama-sama." Cowok itu menatap Alora. "Lain kali jangan ujan-ujanan kayak tadi ya, Ra. Lo keliatan gak tahan dingin. Muka lo masih pucet sampe sekarang."
"Iya, Kak. Makasih ya."
Alfa terkekeh. "Lo udah ngomong makasih dua kali," ucapnya. "Benerin jaketnya." Cowok itu mengedikkan dagunya ke arah Alora. "Langsung mandi air anget ya nanti biar gak masuk angin."
Alora merapatkan jaket Alfa di tubuhnya. "Iya, Kak," jawabnya. "Jadi aku balikin jaketnya kapan?"
"Nanti aja kalo ketemu di komunitas."
Alora terdiam. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Em, aku... udah keluar, Kak."
Alfa melebarkan mata terkejut. "Kenapa keluar?"
"Kapan-kapan aja aku ceritanya ya, Kak. Aku lagi gak mood untuk cerita."
Alfa terdiam beberapa saat sebelum menghela napas dan mengangguk. "Yaudah Alora masuk ke dalem sana. Kalo udah mau cerita, chat gue aja ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAMUKA IN LOVE ✔
Teen Fiction[C O M P L E T E D] Perangainya membuatku tertarik sejak awal. Dia memang tak secantik gadis-gadis lain yang dengan percaya diri datang padaku, mengajak kenalan, atau bahkan meminta nomor HP. Dia berbeda. Aku bahkan bisa tahu itu sejak awal pertemua...