30

231 29 0
                                    

-Jimin-

Ombak yang menerjang pantai biasanya menenangkanku.

Aku sudah terbiasa duduk di dek ini mengamati air sejak aku masih kecil. Ini selalu membantuku menemukan sisi pandang yang lebih baik dalam banyak hal. Namun itu tidak berpengaruh lagi untukku.

Rumah sudah kosong.

Ibuku dan pria yang kuingin agar dia terbakar selamanya di neraka sudah pergi, segera setelah aku kembali dari Paju tiga minggu yang lalu. Aku marah, rusak, dan liar. Setelah mengancam nyawa pria yang dinikahi ibuku itu, aku mendesak mereka untuk segera pergi.

Aku tidak ingin melihat salah satu dari mereka. Aku harus menelepon ibuku dan bicara dengannya tapi aku belum mampu memberanikan diri untuk melakukan itu.

Memaafkan ibuku lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Hyunji, adikku, mampir beberapa kali dan meminta aku agar bicara dengannya. Ini bukanlah kesalahan Hyunji tapi aku juga tidak bisa bicara dengannya tentang hal ini. Dia mengingatkanku tentang sesuatu yang telah hilang. Sesuatu yang pernah hampir aku miliki. Sesuatu yang aku tak pernah berharap bisa menemukannya.

Ada gedoran keras berasal dari dalam rumah dan membuyarkan lamunanku. Berbalik, aku menoleh dan menyadari ada orang di depan pintu ketika bel pintu berdering diikuti dengan suara ketukan lagi.

Siapa itu? Tidak ada yang datang kesini lagi kecuali adikku dan Hoseok Hyung sejak Yeorin pergi.

Aku meletakkan bir di atas meja, di sampingku dan berdiri. Siapapun itu, mereka harus punya alasan yang benar-benar kuat mengenai kedatangan mereka ke sini tanpa diundang.

Aku berjalan melintasi rumah yang tetap bersih sejak kunjungan terakhir bibi Song, pengurus rumah. Dengan tidak adanya pesta-pesta atau kehidupan sosial maka menjadi lebih mudah untuk menjaga segala benda dari kerusakan. Aku menyadari bahwa aku jauh lebih suka keadaan seperti ini.

Ketukan terdengar lagi ketika aku sampai di pintu depan dan aku menyentaknya hingga terbuka, bersiap untuk memberitahu siapa pun itu agar segera pergi namun tak sepatah katapun sanggup keluar dari mulutku.

Dia bukan seseorang yang kuharap bisa kulihat lagi. Aku hanya bertemu pria itu sekali dan aku langsung membencinya. Sekarang dia ada di sini, aku ingin meraih bahunya dan mengguncangnya sampai dia menceritakan bagaimana keadaan Yeorin.

Apakah dia baik-baik saja. Di mana dia tinggal?

Ya Tuhan, aku berharap Yeorin tidak tinggal bersamanya. Bagaimana jika dia telah, tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin terjadi. Dia tidak akan mau. Bukan Yeorin-ku.

Tanganku mengepal erat membentuk tinju di sisi tubuhku.

"Aku perlu tahu satu hal," Jihoon, pria dari masa lalu Yeorin, berkata saat aku menatapnya dengan pandangan tak percaya dan kebingungan.

"Apakah kau," Jihoon berhenti dan menelan ludah. "Apakah kau... meniduri..."

Jihoon melepas topi bisbol dan mengusap rambutnya. Aku melihat lingkaran hitam di bawah matanya dan ekspresi lelah di wajahnya.

Jantungku seakan berhenti. Aku meraih lengan atasnya dan menggoncang tubuhnya.

"Di mana Yeorin? Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja... Maksudku, dia tidak dalam masalah. Lepaskan aku sebelum kau mematahkan lenganku," bentak Jihoon, menyentak lengannya menjauh dariku. "Yeorin masih hidup dan sehat di Paju. Itu bukan alasan kenapa aku ada di sini."

Lalu kenapa dia ada di sini?

Kami hanya punya satu keterkaitan yaitu Yeorin.

"Ketika dia meninggalkan Paju dia gadis yang polos. Sangat polos. Aku pacar satu-satunya. Aku tahu betapa polosnya dia. Kami sudah bersahabat sejak kami masih kecil. Yeorin yang pulang bukan gadis yang sama saat dia pergi. Dia tidak bicara soal itu. Dia tidak mau bicara soal itu. Aku hanya perlu tahu apakah kau dan dia... apakah kalian... Aku hanya akan mengatakan ini, apa kau pernah menidurinya?"

Pandanganku kabur saat aku bergerak tanpa memikirkan yang lain kecuali membunuhnya. Dia telah melewati batas. Dia tidak boleh bicara tentang Yeorin seperti itu. Dia tidak boleh mengajukan pertanyaan semacam itu atau meragukan kepolosannya. Yeorin masih polos, dasar sialan. Dia tidak punya hak.

"Astaga! Jim, turunkan dia!" Suara Hoseok Hyung berteriak padaku.

Aku mendengar suaranya tapi seakan begitu jauh dan terdengar seperti di dalam terowongan. Aku terfokus pada orang di depanku saat kepalan tanganku mengenai wajahnya dan darah menyembur dari hidungnya. Dia berdarah. Aku butuh dia berdarah. Aku butuh seseorang untuk berdarah.

Dua lengan melilit lenganku dari belakang dan menarikku menjauh saat Jihoon terhuyung mundur memegangi hidungnya dengan tatapan panik di matanya, salah satu matanya. Mata yang lain sudah bengkak dan tertutup.

"Sebenarnya apa yang kau katakan padanya?" Tanya Hoseok Hyung dari belakangku.

Ternyata Hoseok Hyung yang telah melilitku.

"Jangan kau katakan!" Bentakku saat Jihoon membuka mulutnya untuk menjawab.

Aku tidak mau mendengar dia bicara tentang Yeorin seperti itu. Apa yang kami lakukan memang lebih dari sekedar sesuatu yang kotor atau salah. Dia bertingkah seolah aku telah menghancurkan Yeorin.

Yeorin masih polos. Luar biasa polos. Apa yang telah Jihoon lakukan tidak pernah mengubah hal itu.

Lengan Hoseok Hyung mengencang di tubuhku saat dia menarikku ke dadanya.

"Kau harus pergi sekarang. Aku hanya bisa menahannya untuk sementara waktu. Dia punya otot sepuluh kilo lebih banyak dibanding denganku dan ini tidak semudah seperti yang terlihat. Kau harus lari. Jangan kembali. Kau beruntung karena aku muncul."

Jihoon mengangguk, dengan terhuyung kembali ke mobilnya. Kemarahan sedikit mereda dalam pembuluh darahku tapi aku masih merasakannya. Aku ingin lebih menyakitinya. Untuk mencuci bersih pikiran apapun yang mungkin dia miliki di kepalanya bahwa Yeorin tidak sesempurna seperti saat dia meninggalkan Paju.

Dia tak tahu apa saja yang telah Yeorin lalui. Penderitaan yang telah dia lalui karena keluargaku. Bagaimana dia bisa merawat Yeorin?

Yeorin membutuhkanku.

"Kalau aku melepaskanmu apa kau akan mengejar mobilnya atau kita berdua sudah tenang?" Tanya Hoseok Hyung mulai melonggarkan cengkeramannya pada tubuhku.

"Aku sudah tenang." Aku meyakinkannya saat aku membebaskan diri dari kungkungannya dan menghampiri pagar untuk berpegangan, lalu menarik napas dalam-dalam.

Rasa sakit itu kembali dengan kekuatan penuh. Aku telah berhasil mengubur rasa itu hingga hanya terasa berupa denyutan samar, tapi melihat si pengecut itu, membuatku mengingat segalanya. Malam itu. Malam yang tak akan pernah bisa kupulihkan ke asalnya. Malam yang akan terus membekas dalam diriku untuk selamanya.

"Bisakah aku bertanya padamu sebenarnya apa yang terjadi atau kau juga akan menghajarku?" Tanya Hoseok Hyung sambil menjaga jarak di antara kami.

Bagaimanapun Hoseok Hyung adalah saudaraku, diatas semua kepentingan dan tujuan yang melatar belakanginya. Orangtua kami dulu pernah menikah ketika kami masih kecil. Pernikahan yang cukup lama bagi kami untuk membentuk ikatan itu. Meskipun ibuku memiliki beberapa suami setelah itu tapi Hoseok Hyung masih tetap keluargaku. Dia cukup paham untuk mengetahui bahwa ini adalah tentang Yeorin.

"Mantan pacar Yeorin," jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

Hoseok Hyung berdeham. "Jadi, hm, dia datang ke sini untuk mengejekmu? Atau kau menghajarnya sampai babak belur hanya karena dia pernah menyentuh Yeorin?"

Dua-duanya. Atau bukan.

Aku menggeleng.

"Tidak. Dia datang ke sini mengajukan pertanyaan tentang aku dan Yeorin. Sesuatu yang bukan urusannya. Dia menanyakan sesuatu yang salah."

"Ah, aku mengerti. Itu masuk akal, dia sudah membayar perbuatannya. Pria itu mungkin mengalami patah hidung ditambah matanya yang tertutup karena bengkak."

Aku akhirnya mengangkat kepalaku dan kembali menatap Hoseok Hyung. "Terima kasih sudah menahanku darinya. Aku hanya tiba-tiba sangat marah."

Hoseok Hyung mengangguk lalu membuka pintu. "Ayo, kita mulai permainan dan minum bir."

.
.
.
To be continued.

Kasihan Jihoon.

Fallen Too Far (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang