25

267 30 10
                                    

Yeorin.

Rasa lega yang aku harapkan ketika aku mengemudi keluar dari lampu lalu lintas pertama dari tiga lampu lalu lintas yang terdapat di Ilsanseo-gu, Paju tidak muncul.

Mati rasa telah mengambil alih keseluruhan 10 jam mengemudiku. Kata-kata yang aku dengar dari ucapan ayahku tentang ibuku terngiang-ngiang terus menerus di dalam benakku sehingga aku tidak lagi mampu merasakan apapun untuk siapapun.

Aku belok kiri di lampu merah kedua dan menuju ke pemakaman. Aku perlu berbicara dengan ibuku sebelum aku menginap di salah satu motel disini. Aku ingin dia tahu bahwa aku sama sekali tak percaya dengan semua itu.

Aku tahu wanita seperti apa dia. Ibu seperti apa dia. Tak ada yang bisa menandinginya. Ibu menjadi sandaranku padahal saat itu dialah yang sedang sekarat. Tak pernah sedikitpun aku takut ibu akan meninggalkanku.

Parkiran pemakaman kosong. Terakhir kalinya aku datang kemari banyak penduduk kota yang datang memberikan penghormatan terakhirnya pada Ibuku. Hari ini mentari telah beranjak turun dan hanya bayanganlah yang menemaniku.

Melangkah keluar dari mobilku, aku menelan gumpalan yang muncul di kerongkonganku. Berada disini lagi. Mengetahui bahwa ibu disini tapi dia tidak ada.

Aku berjalan menyusuri jalan yang mengarah ke makamnya bertanya-tanya jika ada orang yang datang mengunjunginya selama aku pergi. Ibu memiliki teman. Tentu saja seseorang telah mampir dengan bunga-bunga segar.

Mataku terasa perih.

Aku tak suka berpikir ibu telah ditinggalkan sendirian selama berminggu-minggu. Aku senang telah meminta mereka menguburkannya disamping Yeonji. Itu membuat kepergianku menjadi lebih mudah.

Gundukan tanah yang baru sekarang telah tertutupi rumput. Tuan Kang mengatakan padaku bahwa dia akan menanamkan rumputnya dengan gratis. Aku tak mampu untuk membayar lebih.

Melihat rumput hijau membuatku merasa dia terkubur dengan sempurna terdengar begitu menggelikan sama seperti kedengarannya. Makamnya sama seperti punya Yeonji sekarang.

Batu nisannya tidak sebagus milik saudariku. Itu sederhana, hanya itu yang mampu aku berikan. Aku menghabiskan waktu berjam-jam mencoba memutuskan apa tepatnya yang ingin aku katakan.

.

Ahn Sihyeon

April 19, 1975 – Juni 2, 2020

Cinta yang ditinggalkannya akan menjadi alasan untuk meraih mimpi. Dia adalah sandaran ketika dunia mulai runtuh. Kekuatannya akan diingat. Ada di dalam hati kita.

.

Keluarga yang mencintaiku sudah tidak ada lagi disini. Berdiri disini melihat makam mereka mengingatkanku betapa sendirinya aku sebenarnya. Aku tak memiliki keluarga lagi. Aku takkan pernah mengakui keberadaan Ayahku setelah hari ini.

“Aku tak menyangka kau kembali begitu cepat.”

Aku mendengar suara kerikil di belakangku dan aku tahu siapa itu tanpa harus berpaling.

Aku tak menatapnya. Aku belum siap. Dia akan menatap menembus ke dalam diriku. Jihoon telah menjadi temanku sejak TK. Tahun ketika kami menjadi sesuatu yang lebih itu telah dapat diduga. Aku mencintainya selama bertahun-tahun.

“Hidupku disini,” balasku singkat.

“Aku mencoba untuk berdebat tentang hal itu beberapa minggu yang lalu.” Terdeteksi jejak rasa humor dalam suaranya. Jihoon senang menjadi benar. Selalu.

“Aku pikir aku membutuhkan bantuan ayahku. Ternyata tidak.”

Suara kerikil tergerus terdengar semakin jelas ketika Jihoon maju ke sampingku.

Fallen Too Far (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang