31

211 27 2
                                    

-Yeorin-

Makam ibuku adalah satu-satunya tempat yang ada dalam pikiran untuk kutuju. Aku tidak punya rumah. Aku tidak bisa kembali ke rumah nenek Min. Dia adalah nenek Jihoon.

Jihoon mungkin ada di sana menungguku. Atau mungkin tidak juga. Mungkin aku juga sudah mendorongnya pergi. Aku duduk di ujung makam ibuku. Aku menarik lutut di bawah dagu dan melingkarkan tangan di kakiku.

Aku pulang kembali ke kota Paju karena ini satu-satunya tempat yang kutahu akan aku datangi. Sekarang, aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini. Sekali lagi hidupku akan segera menikung tajam.

Keadaan yang tidak siap untuk kuhadapi. Ketika aku masih gadis kecil ibuku pernah membawa kami ke sekolah Minggu di gereja Baptis setempat. Aku teringat sebuah ayat suci yang mereka bacakan untuk kami dari Alkitab tentang Tuhan tidak memberikan beban lebih banyak daripada beban yang mampu kita hadapi.

Aku mulai bertanya-tanya apakah itu hanya untuk orang-orang yang pergi ke gereja setiap hari Minggu dan berdoa sebelum mereka pergi tidur di malam hari. Karena Tuhan tidak tanggung-tanggung memberikan pukulannya terhadapku.

Mengasihani diri sendiri tidak akan menolongku. Aku tidak bisa melakukannya. Aku juga harus mencari tahu jawabnya tentang yang satu ini. Menumpang di rumah nenek Min dan membiarkan Jihoon membantuku mengatasi urusan hidup sehari-hari hanyalah untuk sementara.

Aku tahu saat aku pindah ke kamar tidur tamu bahwa aku tidak bisa menumpang terlalu lama. Terlalu banyak sejarah antara Jihoon dan aku. Aku tidak punya niat untuk mengulangi sejarah itu. Jawaban tentang kapan aku akan pergi berada di sini tapi aku masih tetap tidak mengerti kemana aku akan pergi dan apa yang akan kulakukan sama seperti tiga minggu yang lalu.

"Aku berharap kau ada di sini, Eomma. Aku tak tahu harus berbuat apa dan aku tidak punya siapa pun untuk kutanyai," bisikku sambil duduk di pemakaman yang tenang.

Aku ingin percaya bahwa dia bisa mendengarkanku. Aku tidak senang memikirkan dia berada di bawah tanah tapi setelah saudara kembarku, Yeonji, meninggal aku duduk di sini, di tempat ini bersama ibu dan kami bicara dengan Yeonji. Ibu mengatakan arwahnya sedang mengawasi kami dan dia bisa mendengar kami. Aku sangat ingin percaya itu sekarang.

"Ini aku. Aku rindu kalian. Aku tidak ingin sendirian tapi begitulah. Dan aku takut." Suara yang terdengar hanyalah desiran angin menerpa daun-daun di pepohonan. "Kau pernah memberitahuku kalau aku mendengarkan dengan cermat aku akan tahu jawabannya di dalam hatiku. Aku mendengarkannya Eomma, tapi aku sangat bingung. Mungkin kau bisa membantuku dengan menunjukkan padaku ke arah yang benar, entah bagaimana?"

Aku menyandarkan dagu di lututku dan memejamkan mata, tidak mau menangis.

"Ingat saat kau bilang aku harus mengatakan kepada Jihoon bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Bahwa aku tidak akan merasa lebih baik sampai aku menumpahkan semuanya keluar. Jadi aku melakukannya hari ini. Bahkan jika dia memaafkanku keadaan tidak akan pernah akan sama lagi. Bagaimanapun aku tidak bisa terus-terusan bergantung padanya dalam banyak hal. Sudah waktunya aku mencari tahu sendiri. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya."

Hanya bertanya padanya membuatku merasa lebih baik. Tahu bahwa aku tidak akan mendapatkan jawaban sepertinya tidak menjadi masalah.

Suara pintu mobil ditutup memecah kedamaian dan aku menurunkan tangan dari kakiku dan menoleh kebelakang di pelataran parkir dan melihat mobil yang terlalu mahal untuk kota kecil ini. Memutar mataku untuk melihat siapa yang telah melangkah keluar dari dalam mobil aku terkesiap kemudian melompat. Itu Seonjoo. Dia ada di sini. Di Paju. Di kuburan ini mengendarai mobil yang terlihat sangat, sangat mahal.

Rambut cokelatnya yang panjang ditarik di atas bahunya membentuk ekor kuda. Ada senyum tersungging di bibirnya saat mataku bertemu dengan matanya. Aku tidak bisa bergerak. Aku takut aku berkhayal yang tidak-tidak. Apa yang Seonjoo lakukan di sini?

Fallen Too Far (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang