29

222 28 1
                                    

-Yeorin-

Saat ini…

Lima belas mil di luar kota ternyata sudah cukup jauh. Tidak ada seorangpun yang pergi sejauh ini dari Paju hanya untuk pergi ke apotik. Kecuali, tentu saja kalau mereka berusia dua puluh tahun dan sedang memerlukan sesuatu yang tidak ingin warga kota mengetahui apa yang mereka beli.

Sesuatu yang di beli di apotik lokal akan tersebar ke seluruh kota kecil Paju, dalam beberapa jam. Terutama jika kau belum menikah dan membeli kondom atau alat tes kehamilan.

Aku meletakkan alat tes kehamilan di atas meja dan tidak menatap pada kasir. Aku tidak bisa. Rasa takut dan bersalah di mataku adalah sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang asing. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kukatakan pada Jihoon.

Sejak aku mendorong pergi Jimin keluar dari kehidupanku tiga minggu lalu aku perlahan-lahan kembali ke rutinitasku dulu dengan menghabiskan waktu bersama Jihoon. Ini mudah. Jihoon tidak menekanku untuk berbicara tapi ketika aku membicarakannya dia mendengarkan.

“Enam belas ribu won.” Wanita di samping meja kasir berkata.

Aku bisa mendengar nada keprihatian dalam suaranya.

Tidak mengejutkan. Ini adalah sesuatu yang memalukan bagi seorang gadis. Aku memberinya dua puluh ribu won tanpa mengangkat mataku dari kantong kecil yang dia letakkan di depanku.

Kantong itu menyimpan satu jawaban yang kubutuhkan dan itu membuatku takut. Mengabaikan fakta bahwa siklusku sudah dua minggu terlambat dan menganggap hal seperti ini tidak terjadi dengan mudah. Tapi aku harus tahu.

“Kembalianmu empat ribu won,” katanya saat aku meraih dan mengambil uang itu dari tangannya yang terulur.

“Terima kasih,” gumamku dan mengambil kantongnya.

“Kuharap semuanya baik-baik saja,” kata wanita itu dengan suara lembut.

Aku mengangkat mataku dan bertemu sepasang mata coklat penuh simpati. Dia orang asing yang tidak akan pernah kulihat lagi tapi saat ini sangat membantu jika ada orang lain yang kukenal. Aku tidak merasa begitu kesepian.

“Aku juga.” Aku menjawab sebelum berbalik dan berjalan menuju pintu.

Kembali ke matahari musim panas yang menyengat.

Aku mengambil dua langkah menuju tempat parkir ketika mataku menatap pada sisi kemudi mobilku. Jihoon bersandar di sana dengan lengan bersedekap. Topi baseball abu-abu yang dia pakai bertuliskan Univertas Seoul ditarik kebawah menutupi dengan rendah tatapan matanya dariku.

Aku berhenti dan menatapnya. Tidak ada kebohongan tentang ini. Dia tahu aku tidak ke sini untuk membeli kondom. Ada satu kesimpulan lain. Meskipun tak mampu melihat ekspresi matanya aku tahu kalau dia tahu.

Aku menelan gumpalan di tenggorokanku yang sudah kutahan sejak aku mengendarai mobil pagi ini dan pergi ke luar kota. Sekarang bukan hanya aku dan orang asing di balik meja yang tahu. Sahabat baikku juga tahu.

Aku memaksakan diriku untuk melangkah mendekat. Jihoon akan bertanya sesuatu dan aku akan menjawab. Setelah beberapa minggu berlalu dia layak mendapatkan jawaban. Jihoon layak tahu yang sebenarnya. Tapi bagaimana aku menjelaskan ini?

Aku berhenti hanya beberapa kaki di depannya. Aku senang bahwa topi yang Jihoon pakai menutupi wajahnya. Akan lebih mudah untuk menjelaskan jika aku tidak bisa melihat apa yang dia pikirkan melalui matanya.

Kami berdiri dalam keheningan. Aku ingin dia bicara terlebih dulu tapi setelah beberapa menit dia tidak mengatakan apapun sehingga aku tahu dia ingin aku bicara lebih dulu.

“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?” Aku akhirnya bertanya.

“Kau tinggal di rumah nenekku. Saat kau pergi dengan bersikap aneh, nenek meneleponku. Aku khawatir padamu,” jawabnya.

Air mata menggantung di mataku. Aku tidak boleh menangis tentang hal ini. Aku akan menangisi semua yang ingin kutangisi. Menggenggam tas yang berisi tes kehamilan lebih erat aku meluruskan pundakku.

“Kau mengikutiku,” kataku. Ini bukanlah pertanyaan.

“Tentu saja,” jawabnya, kemudian menggelengkan kepalanya dan mengalihkan tatapannya dariku dan beralih pada hal lain. “Apakah kau akan mengatakannya padaku, Yeo?”

Apakah aku akan mengatakan padanya? Aku tak tahu. Aku tidak berpikir sejauh itu.

“Aku tidak yakin ada yang harus kukatakan.” Jawabku jujur.

Jihoon menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan tawa kecil yang sama sekali tidak terdengar lucu.

“Tidak yakin, hah? Kau datang ke sini karena tidak yakin?”

Jihoon marah.

Atau apakah dia terluka? Jihoon tidak punya alasan untuk keduanya.

“Sampai aku memakai tes ini aku tidak yakin. Aku terlambat. Itu saja. Tidak ada alasan aku harus mengatakan padamu tentang ini. Ini bukan urusanmu.”

Perlahan, Jihoon mengangkat pandangannya hingga tatapannya tertuju padaku. Jihoon mengangkat tangannya dan memiringkan topinya kebelakang.

Bayangan telah hilang dari matanya. Ada rasa tak percaya dan rasa sakit di sana. Aku tidak ingin melihatnya seperti ini. Rasanya hampir sama buruknya melihat penghakiman di matanya. Dimana penghakiman sepertinya lebih baik.

“Benarkah? Itukah yang kau rasakan? Setelah semua yang telah kita lalui itukah yang sejujurnya kau rasakan?”

Apa yang pernah kami lalui adalah masa lalu. Jihoon adalah masa laluku. Aku pernah melalui banyak hal bersamanya. Sementara dia menikmati kehidupan SMA-nya aku berjuang untuk mempertahankan hidup. Jihoon sebenarnya menderita karena apa?

Rasa marah perlahan mendidih dalam darahku dan aku mengangkat mataku untuk menatapnya.

“Ya, Hoon-a. Itu yang kurasakan. Aku tak yakin apa sebenarnya yang telah kita lalui. Kita teman baik, kemudian kita pacaran, kemudian ibuku sakit dan kau butuh kejantananmu dihisap jadi kau selingkuh dariku. Aku menjaga ibuku yang sakit sendirian. Tidak ada tempat bersandar. Kemudian ibuku meninggal dan aku pindah. Aku patah hati dan dunia berantakan dan pulang. Kau ada di sini untukku. Aku tidak memintamu tapi kau melakukannya. Aku berterima kasih untuk itu tapi ini tidak membuat semua masalah lain menghilang. Itu tidak akan memperbaiki keadaan bahwa kau meninggalkan aku ketika aku sangat membutuhkanmu. Jadi maafkan aku kalau duniaku sekali lagi runtuh kau bukanlah orang pertama yang akan kuhubungi. Kau bahkan belum pantas menerimanya.”

Aku terengah-engah dan air mata yang tidak inginku tumpahkan menuruni wajahku. Aku tidak ingin tangis sialan ini. Aku memperkecil jarak diantara kami dan menggunakan semua kekuatanku untuk mendorongnya dari hadapanku jadi aku bisa meraih gagang pintu dan membukanya. Aku harus keluar dari sini. Jauh darinya.

“Minggir.” Teriakku saat aku berusaha keras untuk membuka pintu sementara tubuhnya masih ada di sana.

Aku mengira Jihoon akan mendebatku. Aku mengira Jihoon akan melakukan hal lain selain yang kuminta. Aku memanjat ke tempat duduk di belakang kemudi dan melemparkan kantong plastik kecil pada kursi di sampingku sebelum menyalakan mobil dan mundur dari tempat parkir.

Aku bisa melihat Jihoon tetap berdiri di sana. Dia tidak banyak bergerak. Hanya cukup memberiku ruang agar bisa masuk ke dalam mobilku. Jihoon tidak memandangku. Dia menunduk menatap tanah seolah semua jawabannya ada di sana. Aku tak perlu kuatir tentang dia sekarang. Aku perlu pergi jauh.

Mungkin aku tidak seharusnya berkata seperti itu kepadanya. Mungkin aku harus tetap menyimpannya di dalam hati di mana aku mengubur semuanya bertahun-tahun lamanya. Tapi ini sudah terlambat sekarang. Jihoon menekanku di saat yang salah. Aku tidak merasa bersalah tentang ini.

Aku juga tidak bisa kembali ke rumah neneknya. Neneknya berpihak padaku. Jihoon mungkin akan meneleponnya dan mengatakan padanya. Jika tidak mengatakan yang sebenarnya, mungkin sesuatu yang nyaris mendekati. Aku tidak punya pilihan lain. Aku akan menggunakan tes kehamilan itu di toilet pompa bensin.

Akankah keadaan ini bisa menjadi lebih buruk lagi?

.
.
.
To be continued.

Fallen Too Far (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang