66

179 27 0
                                    

-Yeorin-

Aku duduk di ruang tunggu dan berusaha keras untuk tidak memandang pada wanita hamil lainnya yang juga sedang menunggu.

Ada tiga wanita hamil termasuk aku. Wanita diseberangku didekap erat oleh lengan suaminya. Dia terus menerus berbisik di telinga sang istri yang membuatnya tersenyum. Tangan sang suami tidak pernah meninggalkan perutnya. Tidak ada keposesifan yang nampak dari perilakunya. Hanya sikap protektif. Seolah sang pria melindungi istri dan anaknya hanya dari isyarat tubuh yang sederhana.

Wanita lainnya usia kehamilannya lebih tua daripada kami berdua dan bayinya bergerak. Kedua tangan suaminya berada di perutnya kala dia memandang istrinya dengan penuh kekaguman. Ada sorot pemujaan yang manis terlihat di wajahnya. Mereka sedang berbagi momen dan hanya dengan melirik kearah mereka saja membuatku merasa seakan-akan mengganggu momen itu.

Kemudian disinilah aku. Bersama Taehyung. Aku telah berkata padanya dia tidak perlu menemaniku namun dia bilang dia ingin melakukannya. Dia tidak akan ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan karena aku tidak akan membiarkan dia melihatku hampir telanjang dalam balutan jubah katun pemeriksaan yang tipis tapi dia akan duduk di ruang tunggu.

Dia telah mengambil untuk dirinya sendiri secangkir kopi yang disediakan secara gratis dan karena dia hanya menyesap kopinya sekali aku berasumsi rasanya pasti memuakkan. Aku merindukan kopi. Mungkin kopi yang diminum Taehyung tadi terasa nikmat untukku. Aku harus membeli kopi non kafein.

"Kim Yeorin," sang perawat memanggil dari pintu masuk yang mengarah ke ruang pemeriksaan.

Aku berdiri dan tersenyum pada Taehyung. "Aku tidak akan lama."

Dia mengendikkan bahu. "Aku sedang tidak terburu-buru."

"Suami anda bisa ikut masuk bersama anda," ujar sang perawat dengan ceria.

Secara langsung wajahku menghangat. Aku tahu tanpa harus melihat bahwa pipiku merona.

"Dia hanya seorang teman," dengan cepat aku mengoreksinya.

Kali ini sang perawat yang merona malu. Jelas sekali dia tidak membaca data diriku dan melihat bahwa aku masih lajang.

"Saya mohon maaf. Hmm, jadi dia bisa ikut masuk juga jika dia ingin mendengar detak jantung si bayi."

Aku menggeleng. Hal itu terlalu pribadi. Taehyung adalah seorang teman namun aku belum siap berbagi sesuatu sedemikian penting seperti detak jantung bayiku dengannya. Jimin bahkan belum pernah mendengar detak jantung bayinya.

"Tidak, tidak usah."

Aku tidak memandang lagi kepada Taehyung karena aku merasa malu untuk kami berdua. Dia hanya membantu. Dianggap sebagai ayah dari si bayi bukanlah apa yang direncanakan sebelumnya.

Pemeriksaannya tidak memakan waktu lama. Kali ini aku dapat mendengar detak jantung bayinya tanpa harus ada tongkat yang berada di dalamku. Suaranya senyaring dan semanis sebelumnya.

Kehamilanku berkembang dengan baik dan aku dipersilahkan pulang dengan satu temu janji lagi empat minggu dari sekarang.

Berjalan kembali ke ruang tunggu aku menemukan Taehyung sedang membaca majalah Parenting. Dia mengalihkan pandangannya padaku dan tersenyum malu-malu.

"Bahan bacaan di sini terbatas," dia menjelaskan.

Aku menahan tawa.

Dia berdiri dan kami berjalan bersama keluar dari pintu. Setelah kami berada di dalam mobil dia memandangku.

"Kau lapar?"

Sebenarnya aku merasa lapar namun lebih lama kuhabiskan waktu dengan Taehyung semakin aku merasa tidak nyaman. Aku tidak dapat menyingkirkan perasaan bahwa Jimin tidak akan menyukai hal ini.

Dia tidak pernah senang aku sering berada di dekat Taehyung. Walaupun aku membutuhkan tumpangan aku mulai khawatir ini merupakan ide yang buruk. Mungkin sebaiknya Taehyung hanya mengantarku kembali ke rumah Jimin saja.

"Aku merasa lebih lelah daripada apapun. Bisakah kau mengantarku saja, kembali ke rumah Jimin?" tanyaku.

"Tentu," timpalnya dengan senyuman.

Taehyung sangat mudah dihadapi. Aku menyukai hal itu. Suasana hatiku tidak siap menghadapi yang sulit-sulit.

"Sudahkah kau berbicara dengan Jimin?" dia bertanya.

Itu merupakan sebuah pertanyaan yang tidak ingin kujawab. Terlalu berlebihan menganggapnya tidak sulit dihadapi. Aku hanya menggelengkan kepala. Dia tidak membutuhkan penjelasan dan jika dia merasakan yang sebaliknya sayang sekali aku tidak memiliki satupun.

Aku merasa hancur dan kuhubungi Jimin dua malam yang lalu dan langsung terhubung dengan pesan suara. Aku meninggalkan pesan namun dia belum balik meneleponku. Aku mulai berpikir apakah dia berharap aku sudah pergi ketika dia kembali. Berapa lama sebaiknya aku tinggal di rumahnya?

"Dia tidak menghadapi semua ini dengan baik, menurut perkiraanku. Dia akan menghubungimu dalam waktu dekat," kata Taehyung.

Dengan nada suaranya aku bisa bilang diapun tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Itu hanya untuk membuatku merasa lebih baik.

Kupejamkan mataku dan berpura-pura tertidur sehingga dia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Aku tidak ingin membicarakan hal ini. Aku tidak ingin berbicara mengenai apapun.

Taehyung menyalakan radio dan kami berkendara dalam diam selama sisa perjalanan pulang ke rumah. Ketika mobil berhenti kubuka mataku dan melihat rumah Jimin ada di depanku. Aku telah kembali.

"Terima kasih," aku berujar, menoleh pada Taehyung.

Ekspresinya menyorotkan keseriusan. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak ingin dibaginya denganku. Aku tidak perlu menanyakan apa itu. Dia juga berpikir sebaiknya aku pergi. Jimin tidak akan menelepon dan ada kemungkinan dia tidak akan kembali lagi. Aku tidak bisa begitu saja tinggal di rumahnya.

"Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu," ujar Taehyung menatap mataku.

Aku mengangguk namun telah kuputuskan tidak akan pernah meneleponnya lagi.

Walaupun jika Jimin tidak memperdulikan apa yang kulakukan itu hanya terasa tidak benar. Kubuka pintu mobil dan melangkah keluar. Dengan lambaian terakhir aku berjalan menuju pintu depan dan masuk ke dalam rumah yang kosong.

.
.
.
To be continued.

Kenapa mencintai Jimin selalu sesakit ini?

Fallen Too Far (PJM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang