Sebuah Monolog Untuk Diri #1

900 11 0
                                    

Hai.

Selamat sore.
Bagaimana luka mu hari ini? Sudah membaik?
Aku harap sudah.
Aku lihat, kau mulai berdiri lagi meskipun kaki mu masih pincang dan jalanmu masih tertatih.
Sudah kubilang, kamu kuat. Mengapa masih tak percaya?

Bicara soal luka, aku ingat seseorang pernah berkata padaku bahwa semua ini soal waktu.
Namun dalam perjalanannya, aku mulai menyadari sesuatu...

Ya, semua ini memang bermuara pada waktu.
Namun bukan waktu yang pada akhirnya membawa semua luka kita pergi.
Bukan pula waktu yang menyembuhkan serpihan-serpihan luka pada diri kita.
Melainkan diri kita sendiri yang melakukannya.
Pada awalnya, kau akan menangis selama berhari-hari saat merasakan luka yang terus kau korek dengan tanganmu sendiri.
Tanpa kamu sadari setiap harinya tumbuh serat-serat pembuluh darah yang siap menutupi luka yang tampak basah akibat ulahmu.
Lama kelamaan, serat pembuluh darah berkumpul dan bersatu membuat sebuah jaringan baru.
Hingga pada akhirnya kau tak dapat mengelak ketika luka mu tertutup sempurna, tak lagi terasa sakit walau meninggalkan jejas.

Pun dengan sakit yang kau rasakan ketika seseorang membuatmu patah.
Kau akan merasa hidupmu hancur, tak lagi berharga dan mungkin berpikir untuk mati.
Ya, karena itu pula yang aku rasakan.
Namun setiap hari nya luka itu tertutup dengan sendirinya.

Sekarang lihat lah...

Aku masih bisa tersenyum ketika melihat fotomu yang tak lagi sendiri.
Masih bisa tertawa ketika melewati jalan yang sering kita lalui bersama.
Masih bisa menyanyikan lagu yang kau beri ketika aku mulai mengingat setiap hal yang pernah kita lewati.

Aku tak ingin terus menerus terpuruk meratapi kesedihan yang tak lain adalah bahagia mu.
Meski terlintas untuk 'pergi', namun aku memilih untuk berdiri.

Ya, karena kepergian ku pun takkan mengubah apapun dalam hidup mu.
Maka aku kini mulai menyiapkan kakiku untuk melangkah lagi, untuk kembali berlari, menyelesaikan mimpi yang sempat ku tunda karena kehadiranmu.
Melanjutkan hidup yang tampak begitu parah setelah kepergianmu.

Seperti halnya kaki mu yang melangkah maju bersama sepasang kaki lainnya,
Aku pun kembali pada tempatku, di pelukannya.
Berat, namun nyatanya aku masih bisa bernafas walau sesak, berdiri walau goyah, dan tertawa meski air mata masih basah.
Meski namamu masih selalu jadi gumam dalam setiap monolog yang kulakukan, perlahan tanganku rela melepasmu.

Sekarang, aku bisa mengangkat lagi kepalaku. Menghentikan isak tangis yang selama ini sia-sia kulakukan.
Aku mulai memberanikan diri membuka mata dan satu yang ku pahami. Aku tidak sendiri.
Karena aku percaya, selama aku bisa tersenyum diatas luka ku, bumi dan matahari akan selalu mengasihi..

Semangat ya!

MonologTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang