Kini, pria manis itu malah menikmati hembusan angin yang kerasa makin dingin. Walau tubuhnya beku, tapi hatinya engga. Sekuat apapun melawan, Doyoung pada dasarnya emang lemah. Selama apapun bertahan, Doyoung memilih untuk menyerah. Sesakit apapun torehan luka yang terus bertambah, justru ga kerasa lagi.
Karena setelah ini, semuanya akan berakhir. Benar-benar berakhir.
Air matanya kini menetes, meluncur turun ngelewatin pipi. Doyoung sebenernya ga akan pernah mau ngelakuin ini, tapi dia pikir—inilah jalan terbaik untuk mengembalikan keadaan yang tentram kaya dulu. Engga ada lagi permusuhan, pembunuh, darah, senjata, tersangka, catatan kasus, bukti, semuanya akan selesai sampai disini aja.
Bukan tanpa alasan Doyoung memilih jalan ini untuk mengakhiri semuanya, tapi cuma dialah incarannya. Doyoung satu-satunya target yang pasti bakal terancam mati cepet atau lambat. Dia pikir, orang-orang kesayangannya ga akan kesusahan lagi jika dialah yang memilih untuk menyerahkan diri. Dengan begitu, engga akan ada lagi pertumpahan darah selain darah Doyoung sendiri. Hanya Doyoung, dan ga ada seorangpun yang boleh nyusul dia.
"Hei, ngapain sendirian malem-malem gini?"
Doyoung ngangkat kepalanya, pandangannya beradu sama manik coklat terang itu lagi.
"Harusnya aku yang tanya sama kamu. Ngapain kamu kesini?" tanya Doyoung balik, ngebiarin ibu jari pria itu ngusap pipinya lembut.
"Jangan balik nanya dong, ah, ga seru banget."
Doyoung cuma senyum, "Ga kerasa, kita bakal ketemu sebentar lagi, ya?"
Pria itu cuma mangut-mangut, "Ini memang waktu tepatnya. Tapi, apa kamu yakin siap ninggalin mereka?"
Si manis ngegeleng, "Emang kamu siap ninggalin dunia ini beserta orang-orang yang kamu sayang? Mana ada orang yang pernah siap, walau waktu dia mati bakal dateng sebentar lagi. Ga akan pernah siap."
Dia ketawa kecil, "Iya, iya. Nanti aku jemput, ya? Aku ajak yang lain juga deh, hm?"
Sekarang giliran Doyoung yang ketawa, "Jangan, nanti rusuh."
Pria yang duduk di depan Doyoung itu ngulas senyumnya, "See you soon, sweetheart."
Doyoung ngedipin matanya, sosok itu pergi. Lagi-lagi Doyoung ngerasain hembusan angin dingin yang nembus kemejanya, namun kali ini diiringi dengan bisikan halus dari si pria tadi.
"I love you."
Si manis spontan terkekeh, "I know," bisiknya seraya ngulurin tangan untuk ngambil barang-barangnya. Doyoung berdiri dan ngehela napas lega.
Kaki-kaki jenjangnya melangkah pergi, ninggalin taman yang ga akan pernah dia kunjungin lagi. Detik demi detik dia lewati dengan berat, bertanya-tanya di setiap menit dengan pertanyaan berbeda.
Doyoung masuk ke mobilnya, make seatbelt setelah naruh barang-barangnya di kursi sebelah.
Ting!
Mau gamau, Doyoung ngelirik lagi ke arah handphonenya. Sebagai orang yang baik, Doyoung ngecek chat yang baru aja dikirim beberapa detik yang lalu.
+82-2-xxx-xxxx
으 이 우 (1)"Ternyata bener lo orangnya, Kook."
Doyoung nginget kata-katanya tentang Jeon Jungkook, orang yang dia tuduh kemarin. Tinggal nyelipin 우 di antaraㄱ danㄱ , lengkaplah hangul yang bertuliskan Jeon Jungkook itu.
Tok, tok.
Pas Doyoung ngangkat kepalanya, dia kaget setengah mati kala ngeliat 3 orang bertudung hoodie berdiri tepat di depan mobilnya. Salah satu dari mereka megang handphone, sisanya cuma nunduk dan nyembunyiin tangan di saku hoodie hitam yang mereka pake.
Orang yang berdiri di tengah-tengah, nurunin tudung hoodie dan ngangkat kepalanya.
Degupan jantung Doyoung makin menjadi kala orang itu senyum sampe nampakin gigi kelinci yang kata sebagian orang itu lucu. Tapi bagi Doyoung, itu adalah seringaian terakhir dari seorang penjahat gila yang bakal dia liat.
"Terlalu tiba-tiba, ya. Tapi apapun itu, gue siap untuk mati supaya kalian puas, villains."
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Care
Fanfiction[Angst, Romance, Married Life] "Semuanya akan baik-baik aja. Baik dia anak kita atau bukan, kita harus tetep ngasih apa yang sepantasnya dia dapatkan." -Doyoung • Completed • Tetralogy of Comfortable's • BxB / Yaoi / Homo / Gay • Bahasa non-baku • H...