91. Last poem

350 25 16
                                    

Dari chapter ini sampe beberapa chapter selanjutnya, bakal saya sediain medianya. Jangan lupa diplay ya^^

Happy reading.

Semua ketakutan itu benar-benar terjadi, buat Jaehyun ngerasain sakit yang teramat sangat—perasaan sakit akan kehilangan yang ga pernah dia rasain sebelumnya. Mimpi buruknya, ketakutannya, apa yang ga Jaehyun harapin, sekarang udah terjadi.

Air mata masih terus netes dari matanya, ngebasahin kaos berdarah yang di pake. Jaehyun cuma bisa duduk lesu dengan kepala tertunduk, sekujur tubuhnya makin lemes dan lemes. Isak tangis itu tertutup sama isak tangis yang lain, isak tangis Jaejoong, Winwin, dan anak-anaknya.

Mereka semua; keluarga Jaehyun, Yuta dan Winwin, Eunwoo, Mark, Taeyong, Jaemin pun dateng untuk nunggu Doyoung.

"I just want you to stay alive, i just want you to stay alive..."

Mustahil rasanya jika Doyoung kembali bernapas dan hidup normal dengan kebahagiaan. 6 peluru itu berhasil ngebuat luka yang terlalu dalam, ngerusak organ penting yang buat Doyoung bener-bener harus pergi dengan tugasnya yang bahkan belum selesai.

Getaran di saku celananya ngebuat Jaehyun harus ngatur napas juga ngusap air matanya. Dia benci jadi cengeng kaya gini apalagi karena Doyoung, hanya karena satu orang cerewet yang enggan pergi dari singgasana hatinya.

"H-halo?"

"Are you okay?"

Jaehyun ngegeleng pelan, "No, i'm not. I'm not—i'm not okay."

"Just wait for me, okay?"

Jaehyun gabisa ngejawab, tangisnya lagi-lagi pecah pas ngedenger suara orang itu. "Gue gatau, Johnny. Gue gatau, apa yang Doyoung lakuin ini bener-bener bodoh! Gue, gue—"

"Jae, gue paham akan perasaan lo sekarang. Lo tenang dulu ya? Gue janji bakal sampe besok. Lo boleh cerita sepuasnya, lo boleh ngelakuin apapun asalkan sama gue."

"Gue pengen nyusul Doyoung. Kita berdua bisa ketemu Doyoung diatas sana, kan?" ujar Jaehyun pelan.

Disebrang sana, Johnny bungkam. Pria Seo itu ngehela napas berat, ngerasain kesedihan yang terus ngumpul padahal kesedihan yang lalu belum sempet di sembuhin. Dia cuma bisa mandang lurus ke arah langit biru bersih di sampingnya.

Johnny tau semua ini dari Yuta. Johnny langsung bergegas mesen tiket buat ke Korea, pergi ke bandara bareng keluarga karena mereka maksa ikut. Raline udah nangis-nangis ga karuan di sampingnya, milih untuk ngabisin tenaga sekarang sebelum semuanya bener-bener berakhir. Aiden juga keliatan suram, begitu pula neneknya yang gabisa berhenti berdoa supaya Doyoung selamat.

Hanya aja, itu udah terlalu terlambat untuk berdoa buat keselamatan Doyoung.

"Belum waktunya, Jae."

Jaehyun ngebuang napas kasar. "Lantas, apa? Apa yang bisa gue lakuin sama lo tanpa Doyoung? Gada maknanya, ga akan berkesan sama sekali."

"Nanti kita bicara lagi, gue berangkat."

Sambungan telfon diputus sama Jaehyun karena pria itu ngerasa cukup terguncang akan emosi lain, cuma karena kata-kata Johnny tadi. Tepukan di bahunya buat Jaehyun lagi-lagi ngalihin pandangan, natap Chihoon dengan mata sembabnya.

"Gue nemuin ini di mobil," katanya sambil nyerahin buku kecil dan handphone Doyoung.

Chihoon baru dateng dari TKP. Disana juga masih rame sama polisi dan tim penyelidik-penyelidik lainnya. Eunri, Valennia, dan Jungkook nyerahin diri mereka dengan senang hati karena misi mereka udah berhasil, sukses. Bahkan engga ada raut penyesalan di wajah mereka, cuma ulasan senyum kemenangan yang ga luntur meski tangan mereka udah di borgol. Mereka bakal dihukum, atas tuduhan kasus pembunuhan berencana terhadap 2 orang—Althea Seo dan Jung Doyoung.

Ya, yang ngebunuh Althea itu Jungkook sama Valennia. Valennia terbang ke Chicago buat ngebantuin kakaknya, lalu kembali ke Korea bareng kakaknya juga untuk ngebunuh Doyoung. Inget kan kalo Johnny pernah bilang kalo Siwon nyari tahanan yang kabur di Chicago? Nah, itu dia nyari Jungkook.

Jaehyun senyum tipis dan nerima barang-barang itu, "Makasih," ujarnya singkat dengan parau.

Chihoon nepuk bahunya sekali lagi, sebelum akhirnya pergi dan jalan ke Eunwoo yang nyandar di samping pintu ruangan dimana jasad Doyoung lagi di otopsi. Di deket sana juga ada Winwin dan Jaejoong.

"Apa yang kamu lakuin ini terlalu kejam, Doie," gumam Jaehyun seraya ngebuka buku kecil itu.

Jaehyun tau kalo Doyoung dari dulu suka banget buat puisi. Mau ditulis di buku atau diketik di laptop dan handphone, kayanya udah ada ratusan puisi yang Doyoung buat selama ini. Dan semuanya, berkesan untuk Jaehyun.

Nemuin puisi baru di buku itu, Jaehyun ngefokusin matanya untuk ngebaca puisi terakhir buatan Doyoung. Namun, gagal, air mata buat matanya burem dipertengahan dan ngebasahin halaman buku itu.

Sang Mentari.

Malam akan selalu berganti pagi.
Sang bulan pamit dan hadirlah sang matahari.
Siap kapanpun untuk menghangatkan hati.
Serta menguatkan kedua insan ini.

Teruntuk kamu, sang matahari.
Menyinari dunia dan menghangatkan hati.
Teruntuk kamu, sang matahari.
Yang selalu ada untuk menyemangati diri ini.

Kamu adalah sang matahari.
Ada pada hari yang lalu, kini, dan nanti.
Selalu menegakkan dirimu disisi ini.
Membuat hidup kian berarti.

Terima kasih banyak, matahari.
Kamu berhasil mencuri senyum ini.
Kamu berhasil menjadi satu-satunya hingga nanti.
Kamu berhasil menyita seluruh atensi.

Teruntuk sang matahari yang setia menyambut pagi.
Aku benar-benar berterima kasih.
Telah mendekapku dengan hangat sepanjang hari.
Tanpa pamrih, terus bersinar dan memperingati jika cerita kita belumlah selesai.

Tetaplah bersemangat untuk menjalani hidup ini.
Kamu, kalian semua, aku yakin semuanya akan terlewati.
Dengan kehangatan darimu dan genggaman tangan ini.
Percayalah, semuanya lebih indah karena hadirmu disini.

Sampai jumpa, matahariku. Kamu akan menjadi kekal abadi di hati ini, aku mencintaimu meski raga dan jiwaku tak lagi ada disisimu.

Tertanda, Jung Doyoung.



[4] CareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang