[1] Me and My Past [1]

23.4K 1K 37
                                    

.

.

.

Suara klakson terdengar menyadarkan Satria kembali pada realita. Laki-laki itu menggigit bibirnya dan tanpa sadar cengkeramannya pada kemudi mobil mengerat saat kilasan masa lalu itu kembali menerjang. Ah, kejadian itu ya. Satria menyandarkan kepalanya di jok dan mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Dia tatap sekeliling dan menyadari bahwa sedari tadi dia masih terjebak macet setelah pulang dari kantor.

"Kamu jahat! Kamu jahat, Satria!"

"Kamu udah hancurin hidup aku!"

Suara dari masa lalu itu kembali terdengar membuat konsentrasinya seketika buyar. Satria memukul setirnya dan menggeram. Segera setelah kemacetan di depannya perlahan terurai dia mulai memacu kendaraannya. Menambah kecepatan mobilnya. Menginjak gas dalam-dalam dan membawa lari crv abu-abunya membelah jalanan di sore hari itu.

Satu yang Satria ketahui seberapa banyak pun dia berlari. Seberapa sering pun dia menghindari. Lubang hitam dari masa lalunya itu akan selalu ada disana. Mengintai dan bersiap kapan saja untuk menerkamnya.

Satu jam kemudian Satria memasukkan crv miliknya itu ke dalam rumahnya yang terletak di salah satu kawasan elit Jakarta. Setelah memarkirkan kendaraannya di carpot, laki-laki itu turun dan tersenyum mendapati Wisma--papanya yang tengah menyirami tanaman di halaman.

"Pah," sapa Satria lalu menyalami sosok yang nyaris seperti dirinya namun dengan versi yang lebih dewasa.

"Eh," Wisma menoleh. "Udah pulang kamu, Sat? Gimana kantor?"

Satria tersenyum memainkan kuncinya. "Good. Sejauh ini fine, Pa. Proyek kita dengan perusahaan dari Thailand itu, masih tahap diskusi. Tapi Satria yakin mereka nggak akan nolak dengan apa yang kita tawarkan."

Wisma mengangguk-angguk. "Kalo proyek kita yang di Batam itu gimana kabarnya?"

Satria tersenyum. "Loh, Papa lupa? Proyek itu kan sudah diambil alih kantornya Darga. Papa sendiri yang nyerahin loh."

Seketika Wisma menepuk kening. "Iya Papa lupa, Sat. Wah, mulai pikun nih Papa."

Satria hanya tertawa.

"Ya udah kamu masuk gih sana! Mama udah masak enak, loh!" suruh papanya.

Satria hanya mengangguk. "Papa juga buruan masuk, Pah. Entar masuk angin loh, kalau kelamaan main air."

"Iya, Sat. Iya."

Satria kembali tertawa lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tengah dia sudah menemukan sosok mamanya--Sonia tampak sedang membereskan meja makan. Satria tersenyum, mengecup pipi sang mama lalu menyalami tangannya penuh hormat. Perempuan paruh baya yang masih terlihat awet muda itu kaget saat anak sulungnya tiba-tiba mencuri kecupan di pipinya.
"Satria, kamu ngagetin Mama deh," ucapnya dengan senyum lembut. Sementara sang anak hanya tertawa. "Kamu buruan mandi sana, terus habis itu makan."

Satria mengangguk. "Ya udah kalau gitu, Satria kamar dulu, Mah."

Sonia hanya mengangguk. Namun dia menoleh dan memanggil anaknya kembali. "Sayang, kamu coba telpon Zahra deh. Tadi adik kamu bilang mau pulang jam empat. Tapi ini udah mau jam enam tapi adik kamu belum balik juga."

Satria mengangguk. "Iya Mah, nanti Satria bakal telpon Zahra." Dia kembali tersenyum menenangkan mamanya yang selalu khawatir jika  anak gadisnya belum kembali ke rumah.

Satria membuka pintunya dan menatap kamarnya yang bernuansa dark blue itu. Membuka sepatu kantornya lalu membuka satu persatu kancing kemejanya yang berwarna hitam. Setelahnya Satria segera masuk ke dalam kamar mandi. Menggeser pintu shower tube, Satria membiarkan seluruh tubuhnya basah. Laki-laki itu mengusap wajahnya, menghilangkan kepenatan setelah seharian ini bekerja di kantor.
"Sat, beli es krim yuk?"

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang