.
.
.
Cukup lama ruangan itu hening hingga Satria berdeham sejenak. Mengembalikan raut wajahnya dalam mode serius. Dia menatap Arrain di depannya yang juga serius.
"Beberapa malem ini gue mimpi kejadian itu lagi. Dan gue nggak tahu harus gimana." ucapnya dengan senyum sedih.
Arrain mengambil nafas panjang. Masalah itu lagi, pikirnya. Dulu, Satria pernah bercerita bahwa dia memiliki sebuah penyesalan dalam hidupnya. Penyesalan yang membuat laki-laki itu kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya.
Dan Arrain tak tahu kejadian apa yang selalu membayangi sahabatnya itu. Ya, sahabat! Tolong catat baik-baik! Bahwa mereka adalah sahabat—menurut Satria. Menurut Arrain—perempuan itu tidak bisa mengatakannya. Karena pasti semua orang bisa menebak gerak-geriknya saat berinteraksi dengan Satria.
Sebenarnya sejak dulu mulut Arrain ini gatal untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan dia sering sekali memancing Satria dengan bertanya atau membicarakan masa lalu laki-laki itu. Tapi seperti tidak mengerti apa-apa. Satria hanya tersenyum. Ck! Jika saja Arrain tak ingin dimusuhi Satria, pasti perempuan itu sudah memaksa Satria untuk membuka rahasianya. Namun Arrain memilih menghargai laki-laki itu demi kelangsungan persahabatan mereka. Sekali lagi dia tegaskan—persahabatan! Dasar Satria tidak peka!
"Udah lama kejadian itu muncul lagi di kepala lo?" tanya Arrain menyedekapkan tangan. Diam-diam mengamati wajah tampan makhluk di hadapannya itu.
"Beberapa malem ini sih," jawab Satria.
Kepalanya mengadah ke jendela di belakang perempuan itu. Lalu bayang-bayang saat Clara menangis di hadapannya kembali membayangi. Membuat aliran darah Satria berpacu cepat. Bola matanya menggelap. Tanpa sadar laki-laki itu sudah mengepalkan tangannya.
"Sat?" Arrain mengernyit menatap Satria. Tangannya dia lambaikan di depan wajah laki-laki itu hingga akhirnya dia mengerjap kaget. Arrain mendengus. "Kenapa lo? Ish, jangan bilang lo tiba-tiba kesambet pas duduk di ruangan gue?"
Satria mendengus dengan wajah geli. Dia senderkan punggung pada kursi yang didudukinya. "Iya nih. Kayaknya gue kesambet deh setelah duduk di kursi lo ini. Banyak hantunya kali ruangan lo," ucapnya sembari menatap sekitar seolah-olah menilai. "Salah satu hantunya sih, ada di depan gue."
Arrain mengernyit. Lalu melotot saat menyadari bahwa Satria mengolok dirinya. "Heh, lo pikir gue hantu apa?! Dasar!" Arrain meraih stetoskopnya siap melemparkannya pada Satria. Namun urung dia lakukan karena menyadari bahwa benda itu masih dia butuhkan untuk menunjang pekerjaannya. Sekaligus, stetoskop itu mahal harganya!
"Lo udah sarapan?" Arrain bertanya lagi. Kali ini tatapan-tatapannya ikut mengirimkan kode-kode rahasia penuh cinta...Hahaha.
Satria menggeleng. "Belum, tadi gue langsung cabut setelah mandi."
Aha! Batin Arrain bersorak senang. Dia menyedekapkan tangannya dan maju menatap wajah Satria lebih dekat. "Mau sarapan bareng di kantin?"
Satria baru akan mengiyakan, namun jam dinding yang tertempel di sampingnya seolah memperingatkan waktunya yang hanya sebentar. "Tapi bukannya bentar lagi praktek lo mulai ya?"
Arrain kontan memberengut. Benar! Dia lupa pada satu hal itu. Ish! Memang menyebalkan jika ada praktek pagi! Arrain mengerucutkan bibir. Tampangnya berubah lesu. "Ah, iya gue lupa." Dengan kesal dia menoleh pada jam dinding. Masih lima menit sebelum para pasien mulai berdatangan.
Satria yang melihat tampang kesal Arrain hanya menertawainya. Kemudian dengan perlahan dia memundurkan kursi. "Kalau gitu gue cabut dulu—"
"Eh, tunggu! Tunggu!" Arrain sontak berteriak, bahkan sudah menarik sebelah tangan Satria. Matanya melotot tak terima saat laki-laki itu akan pergi begitu saja. Enak saja! "Duduk lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Got It
Storie d'amoreSatria Evandra Arbani, laki-laki itu hanya menginginkan bertemu kembali dengan Clara Regina Anandhina, perempuan yang dipacarinya enam tahun silam. Saat mereka masih merasakan indahnya, cinta di masa putih abu-abu. Sebuah peristiwa terjadi, mengaki...