[32] They Are Collapsed [32]

5.1K 264 24
                                    

.

.

.

Sudah empat hari ini Clara seperti orang yang enggan hidup mati pun tak mau. Karena yang dilakukan perempuan itu hanya berbaring di kasur, memeluk guling dan memandang kosong apapun di hadapannya.

Rasanya sejak Clara bertemu Satria siang itu, nyawa dalam dirinya seolah melayang entah kemana. Perasaannya pun kian bergejolak seperti ombak di pantai yang nantinya akan membuahkan aliran kecil dari sudut matanya.

Clara tidak bodoh. Dia tahu bahwa semua itu terjadi karena rasa di hatinya belumlah mati untuk laki-laki itu. Mungkin mulutnya selalu berkata bahwa Clara membenci untuk selamanya. Tapi apa arti air mata yang mengalir ini? Juga perasaan yang selalu tak menentu. Karena kata membenci laki-laki itu selalu mudah diucapkan namun sulit dipraktekkan.

Irina sudah mendengar semuanya dari Intan bahwa laki-laki yang diklaim Clara sebagai papa dari Andhara datang kemari. Membuat Clara terguncang setelah berjam-jam menangis dan akhirnya mengurung diri di kamar sampai detik ini.

Intan juga memohon pada Irina untuk membujuk Clara agar menghentikan aksinya mengurung diri. Apalagi Clara juga tak mau makan membuat Intan dan Aldan semakin khawatir. Belum lagi rasa penasaran mereka terhadap sosok bernama Satria perlu dituntaskan. Namun sayangnya Clara sedang sulit diajak berkomunikasi.

Dan bodohnya Irina adalah ketika Intan menceritakan tentang laki-laki bernama Satria itu, yang tahu-tahu berada dalam kepalanya adalah Marlo-si playboy yang terang-terangan sedang mendekatinya itu. Ugh! Membuat Irina mendengus geli.

Meski sudah puluhan kali Irina menolak ajakan laki-laki itu berkencan. Entah mengapa dengan tak tahu dirinya Marlo tetap mendekati Irina. Apa sinyal penolakannya tidak sampai ke radar laki-laki itu?

Okay, back to the topic. Ah, Irina lupa satu hal, ternyata Satria, laki-laki yang diceritakan Intan itu-adalah si uncle handsome yang diributkan Andhara beberapa waktu lalu. Mengapa selama ini dia tidak pernah berfikir bahwa uncle handsome yang disenangi Clara adalah her father-ayahnya sendiri! Dia tahu bahwa fikirannya tak sepanjang itu.

Menoleh pada Clara, Irina hanya mampu mendesah. Bahkan sejak kedatangannya dua jam yang lalu Clara tak melakukan apapun. Hanya berbaring layaknya orang sakit. Bahkan ponsel pintar miliknya dibiarkan tergeletak dengan layar gelap.

"Darlings," Irina berjongkok menatap wajah pucat Clara. "Darlings, you're not hungry? Please eat some food. Kalo nggak makan terus-terusan lo bisa sakit Darlings," Irina memelaskan suaranya berharap Clara mau menuruti apa yang dia katakan.

Tapi sebuah gelengan kecil menjadi jawaban dari segala bujuk rayu Irina. Clara terus-terusan menggeleng, membuat butir-butir bening itu kembali menampakkan diri di sudut mata. Clara memejamkan mata menahan agar tangisnya tak lagi tumpah. Membayangkan laki-laki itu yang berdiri di depan pagar rumahnya membuat apa yang selama ini dibangun Clara seolah hancur. Lalu yang tersisa hanya segala kenangan tentang mereka.

Irina mengusap air mata yang mengalir di pipi Clara. Dia sungguh tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran saudarinya itu. Jika Clara benar masih mencintai Satria. Bukankan harusnya mereka senang bisa bertemu kembali. Lalu mengapa sekarang Clara malah seperti orang yang sedang disiksa? Irina sungguh tak mengerti.

"Darlings, lo sebenarnya kenapa?" Irina masih setia berjongkok di hadapan Clara. "Apa yang lo rasain, sampe lo jadi kayak gini?"

Clara menatap Irina masih dengan mata memerah. Dia memejamkan mata erat menahan sesak di dada. Menangisi perasaannya yang masih berakar untuk laki-laki itu. Clara tak mau, dia tak mau perasaannya terombang-ambing seperti ini.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang