[43] I Dont Wanna Talk To You Again [43]

4.8K 265 13
                                    

.

.

.

Clara menghela nafasnya saat menutup panggilan dari Lando. Hanya sekedar basa-basi. Laki-laki itu menanyakan posisinya juga apa yang sedang dia lakukan.

Dengan terpaksa Clara harus membohongi laki-laki itu dengan mengatakan bahwa dirinya sedang sibuk membantu Dhania di butik. Padahal kenyataannya Clara sudah pulang dari butik sejak pukul tiga sore tadi.

Clara mengalihkan tatapan pada boneka teddy bear besar berwarna pink yang sejak dua hari lalu berada di atas meja. Boneka besar itu adalah pemberian Satria untuk anaknya. Sejak malam itu boneka ini belum berpindah tempat. Masih tenang menghuni meja ruang tamu. Berbeda dengan strawberry shortcake-nya yang malam itu juga sudah dihabiskan Clara seorang diri.

Tangan Clara meraih boneka itu lalu mengeluarkannya dari plastik berpita yang membungkusnya. Menatap boneka itu sejenak. Seketika mengingatkannya pada senyum Satria, bersama kenangan-kenangan mereka yang telah lalu.

Clara menatap penjuru rumahnya yang sepi. Kedua orang tuanya sedang pergi. Memenuhi undangan dari seorang kerabat Aldan. Orang tuanya pergi setelah Clara selesai mandi tadi. Menatap ke kanan dan ke kiri. Seharusnya dia bersama Andhara. Tapi dimana anak itu?

Clara mengkerut tajam lalu bangkit membawa teddy bear pink itu. Dia melangkah menuju tangga lalu berdiri di depan sebuah pintu. Dia mengintip disana. Mendapati Andhara sedang bermain sendirian di atas tempat tidurnya. Menghela nafas, Clara meletakkan teddy bear itu ke hadapan Andhara.

"Kenapa nggak disimpen bonekanya?" tanya Clara.

"Rara lupa, Ma." jawab anak itu lalu memeluk teddy bear besarnya. Sejurus kemudian raut wajah anak itu ditekuk kembali.

Mau tak mau membuat Clara mengernyit heran. Lalu pandangannya teralih pada ipad milik Intan yang ada di hadapan Andhara. Clara mengambil gawai itu.

"Ini punya Oma, kan?" tanyanya.

Andhara mengangguk, menatap Clara dalam-dalam. "Tadi Rara mau telpon Papa. Tapi Oma bilang, cuma Mama yang tahu nomor Papa. Telepon Papa, Ma!"

Clara menghela nafas. Malas dengan rengekan Andhara. Dia segera mengeluarkan ponsel. Menggulir layar ponsel ragu-ragu. Diam-diam memandangi sederet nomor.

Satria.

Tapi haruskah Clara menghubunginya? Meminta laki-laki itu datang kemari lagi demi anaknya. Bukankah Clara ingin menghapus dan melupakan segala hal tentang laki-laki itu.

Jika Clara terus berinteraksi dengan Satria. Apa kabar hatinya yang selalu bereaksi? Bahkan dengan melihatnya saja. Hati Clara tidak tahan untuk tidak meletupkan sensasi bak kembang api.

"Mama!"

Rengekan Andhara membuat Clara mengerjap dan menoleh. Raut wajah anak itu terlihat tidak sabar.

"Telepon Papa, Ma!" rengeknya mengguncang-guncang tangan Clara.

"Papa kamu sibuk! Teleponnya nggak diangkat!" ketus Clara mengantongi ponselnya kembali.

Andhara menatap Clara lekat-lekat. "Mama bohong! Mama bahkan belum telepon Papa!" ngototnya.

Clara menggeram kesal. Mengapa anak ini mesti sadar jika dirinya bahkan belum mencoba menghubungi laki-laki itu? Clara menoleh malas.

"Nanti aja, minta Oma yang telepon."

"Tapi Oma nggak punya nomor Papa. Mama yang punya!" Andhara kekeuh meminta.

"Papa kamu sibuk! Kamu ngerti nggak sih?!" Clara beranjak dengan kesal.

Namun hal itu malah mengundang raut berkaca Andhara. Kedua mata gadis kecil itu sudah mengeluarkan titik-titik bening. Siap menangis.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang