[40] She Having A 'Papa' [40]

6.8K 356 16
                                    

.

.

.

Bola mata Satria membulat. Sebaris kalimat yang dikatakan Clara seakan menamparnya. Menyadarkannya bahwa dialah ayah dari Andhara. Bukankah membujuk seorang anak adalah tugas orang tua. Seharusnya dia bisa melakukannya.

Menatap Clara lekat-lekat. Satria dan Clara seolah sedang bicara melalui tatapan mata. Seolah tahu apa yang diinginkan Satria, Clara melangkah ke arah tangga dengan helaan panjang. Dan tanpa disuruh pun Satria mengikuti langkah perempuan itu. Karena dia yakin Clara akan membawanya ke tempat Andhara.

Lalu saat kedua orang itu berhenti di depan pintu yang tertutup. Mereka melihat Intan dan Aldan masih berdiri disana membujuk si pemilik kamar membuka pintu. Lalu saat Satria dan Clara datang mendekat. Intan dan Aldan segera menjauh.

Clara menghela nafas lalu maju melangkah ke arah pintu. Mengetuk perlahan dia kemudian bersuara.

"Andhara, buka pintunya!"

Clara memutar knop pintu di bawah. Sedikit terkejut saat pintu itu bisa dibukanya. Ah, sekarang dia tahu Andhara memang belum bisa mengunci pintu.

Lalu setelah pintu kamar terbuka, Clara menoleh pada Satria. Meminta laki-laki itu masuk melalui tatap matanya.

Satria menelan ludah kelu. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar itu. Matanya memanas menatap kamar bernuansa pink di dalam. Berbagai hiasan manis nan lucu terpajang disana-sini. Juga bermacam-macam boneka yang tertata rapi di almari dan ranjang milik Andhara.

Tak mampu menahan air mata, Satria malah melakukan pengandaian di kepalanya. Jika saja dia tahu sejak dulu bahwa Andhara adalah putrinya. Mungkin dialah yang akan bersemangat merancang kamar untuk putrinya itu. Namun dulu adalah dulu. Tak berguna mengungkit yang telah lalu.

Lalu tatapan Satria tertuju ke arah tempat tidur, dimana Andhara sedang meringkuk di balik selimut. Bahkan dari langkahnya saat ini laki-laki itu sudah bisa mendengar isakan lirih anak itu. Sontak saja membuat hatinya terluka.

Langkah Satria terpaku. Ada sesak tak tertahankan dalam hatinya yang membuat air matanya kembali mengalir. Dalam kepalanya kembali memutarkan pengandaian-pengandaian yang mungkin bisa di lakukannya sejak dulu. Menggendong anaknya ketika bayi. Mengajarinya berbicara. Juga mengajarinya berjalan dan berlari. Bukankah sangat indah itu semua.

Namun nyatanya Satria berdiri disini sebagai ayah yang dibenci oleh putrinya. Ditolak kehadirannya oleh Andhara. Menjulukinya dengan kata jahat. Seharusnya dia merasa sakit saat mendengar kata-kata itu ditujukan padanya. Namun dia tahu tak akan bisa menyalahkan Andhara. Karena anak itu tak mengetahui apapun.

Memajukan langkahnya semakin dekat dengan Andhara. Satria memanggil lirih. "Rara."

Tak mendapat sahutan membuat Satria semakin memajukan langkahnya. Menahan pedih saat isak tangis anaknya terdengar jelas.

"Rara," menghembuskan nafas panjang, Satria tahu ini tak akan mudah. "Rara, maafin Papa, sayang." Masih tak ada respon. Namun Satria tak akan menyerah disana. "Rara, jangan nangis lagi, dong. Papa bawain hadiah buat Rara, lho."

Satria mencoba tersenyum. Meski dia tak tahu bagaimana keadaan strawberry shortcake-nya setelah dia jatuhkan di bawah tadi.

"Ra?"

Semakin memajukan langkahnya membuat kaki Satria terantuk kaki ranjang. Menandakan bahwa dia tak bisa maju lagi. Lalu saat ini dia hanya bisa memandangi tubuh mungil itu. Batinnya kembali tersiksa.

"Rara," panggil Satria dengan suara tercekat.

Saat selimut itu tersibak dan sosok Andhara mendongak kecil. Saat itulah Satria merasakan jantungnya berdetak kencang. Dan saat pandangan mereka bertemu, Satria tahu ada kembang api yang menelusup dalam hatinya. Menimbulkan denyut-denyut mendebarkan juga menyenangkan.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang