[80] We Are Done! [80]

5.2K 365 79
                                    

.

.

.

Setelah berhari-hari Clara terus mencoba mengirimkan permintaan maaf kepada Lando melalui pesan singkat. Akhirnya setelah hampir satu minggu. Lando mau membalas pesannya. Clara merasa bersyukur. Apalagi saat Lando menyetujui ajakannya makan siang bersama. Clara benar-benar lega. Karena dia tahu, dia tak bisa membiarkan masalah ini menjadi gunungan luka bagi laki-laki itu.

Bagaimanapun Lando tidak bersalah. Yang bersalah tentu adalah Clara sendiri. Dengan bom waktu yang dia rakit dan ledakkan sendiri. Dia telah menyakiti banyak orang. Dia tak akan melupakan itu.

Clara jadi teringat ucapan Irina malam itu. Saat dia curhat melalui telepon. Irina berkata segala permasalahan ini penyebabnya adalah keegoisan Clara sendiri. Maka hanya dia yang bisa menamatkan drama ini. Yeah, Irina menyebutnya sebagai drama. Drama yang diciptakan dan dimainkan sendiri oleh Clara.

Clara menghela nafas. Mengusap layar ponselnya yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Seketika dia jadi mengharapkan Satria mengirimkan pesan padanya. Mungkin berisikan ucapan selamat pagi atau apapun itu. Tapi tak ada pesan yang masuk dalam ponselnya.

Lalu ingatan Clara terbang saat mereka jalan-jalan ke seaworld kemarin. Awalnya Clara merasa pergi melihat ikan akan membosankan. Tapi nyatanya hal itu sedikit memberi hiburan baginya. Setidaknya dia bisa merilekskan otak sejenak saat melihat ikan-ikan berenangan.

Sebuah ketukan di pintu diikuti dorongan kecil pada pintu kamarnya mengagetkan Clara. Dia melirik, Andhara yang berayunan pada pintu lalu berjingkat masuk.

"Kamu ngapain sih, Ra? Mainin pintu begitu?" Clara mendesah menatap kelakuan anaknya itu. Dia merasa kelakuan Andhara semakin ada-ada saja. Mirip papanya. Kelakuan aneh Andhara itu pasti turunan Satria. Siapa lagi, tidak mungkin dirinya.

"Mama ayo makan!" Andhara naik ke ranjang Clara dan mengayun-ayunkan kakinya dengan manis. "Ayo, Ma!"

Andhara sudah menarik tangan Clara membawanya keluar dari kamar. Clara mendengus. Satu lagi yang sifat yang diturunkan Satria pada anak mereka. Suka memaksa.

Ruang makan itu tampak sepi dan hening. Clara memakan nasi gorengnya tanpa minat. Memikirkan masalahnya dengan Lando membuatnya tak berselera.

Hanya Andhara saja yang terlihat memanyun-manyunkan bibirnya. Sendok di tangannya tak dia gunakan untuk makan. Hanya dia ketuk-ketukkan di piring. Sesekali tatapannya tertuju ke arah ruang tamu. Clara hanya menggelengkan kepala. Mengapa anaknya suka sekali bertingkah menyebalkan?

"Rara kenapa?" Intan menegur melihat cucunya tak melahap makanannya. "Nggak enak ya nasi gorengnya?"

Andhara menggeleng-gelengkan kepalanya. "Papa nggak datang, Rara sebel!" ujarnya manyun.

Clara hanya menghela nafas. Selalu saja papanya yang dicari. Memang siapa lagi kalau bukan.

Intan hanya tersenyum. "Papa kan, lagi kerja, sayang. Nanti juga datang ke sini lagi."

Andhara memasukkan nasi gorengnya ke mulut. "Papa kerja terus! Kemarin kerja, sekarang juga kerja! Rara sebel!"

"Eh, Rara nggak boleh gitu," Intan kembali memperingatkan. "Papanya Rara, kan, kerja buat Rara juga. Nanti Rara nggak diajak liburan lagi, lho." Andhara semakin memanyunkan bibir.

Clara memundurkan kursi cepat setelah menghabiskan segelas susu. Tak mau bertambah pusing disini, lebih baik dia segera pergi saja.

"Mama mau kemana?" Andhara setengah berteriak saat melihat Clara bangkit.

Clara menatap anaknya sesaat. "Kerja."

Andhara menatap tajam tidak suka. Bibirnya semakin maju saja. "Tuh, kan, Mama juga kerja! Rara ditinggal, deh!"

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang