.
.
.
"Lo bisa gitu ya, cuek banget sama anak? Heran gue tuh!" seloroh Irina tajam.
Sementara Clara segera menghempas ponsel di tangannya dan memandang perempuan itu datar. Dia hela nafas sejenak. "Terus gue harus apa?"
Mata Irina memicing saat Clara menyahut seolah tidak tahu apa-apa. Astaga! Apa perempuan itu tidak menyadari betapa takutnya Andhara tadi saat bersitatap dengan mamanya sendiri. Oh, Irina tak habis pikir, bahwa yang melakukan hal itu saudarinya sendiri!
"Astaga, otak lo kayaknya perlu dikasih garem sama cabe dikit kali ya! Biar kembali ke jalan yang benar!"
Clara menghembus nafas kasar. Menatap Irina sebal. Dia sama sekali tak mengerti maksud perkataan Irina. "Please, lo kalo mau ngomong, to the point aja, Rin. Kepala gue pusing, nggak bisa diajak muter-muter."
Irina memejamkan matanya sejenak. "Jelas ini soal Rara, Darlings. Lo nggak bisa terus-terusan cuek kayak begitu! Itu bukan sikap seorang ibu ke anaknya. Apalagi sampe bikin Rara takut natap lo tadi."
"Gue emang bukan ibunya kok," Clara berucap tenang. Membuat kedua mata Irina seketika melotot tak percaya. Clara mengerjap perlahan. "Tapi memang karena gue, anak itu ada disini sekarang."
Menghembuskan nafas panjang, Clara tak akan pernah melupakan fakta itu selamanya.
"Terus lo mau disebut apa? Induk? Lo mau gue samain kayak sapi?!" sinis Irina menahan dongkol dalam hati.
Lalu kebisuan menghiasi seisi kamar tersebut. Clara tak lagi bisa fokus pada ponsel. Karena nyatanya pikirannya terbang jauh ke masa lalu. Saat semua hal yang tak dia inginkan datang bertubi-tubi. Dan hal itu selalu saja membuat Clara susah bernafas. Dadanya berdentam pilu. Mungkin bagi Irina semua hal yang dia lakukan adalah lelucon. Tentu saja karena perempuan itu tidak pernah ada di posisinya. Tidak pernah mengalami kepiluan ini. Irina tidak akan mengerti.
"Lo sama Rara tadi ngomongin apa? Uncle handsome—siapa yang dia maksud?" Clara bertanya pelan. Ingin mengalihkan topik sebenarnya.
"Kepo ya?" Irina berseru gemas. "Au ah, tanya aja sama Rara." jawabnya dengan gerakan mengunci mulut.
"Rin, gue serius."
"Gue juga serius." balas Irina cepat. "Lo tanya aja cerita lengkapnya sama Rara. Karena gue juga nggak terlalu tahu soal si uncle handsome itu."
Clara memilih kembali bersandar pada ranjang. Dia kadang merasa sebal dengan sikap Irina yang sok menggurui. Terlepas dari profesi perempuan itu yang memang seorang pengajar. Hanya saja kadang Irina menjadi sok tahu. Memang sudah enam tahun ini Irina selalu ada disisinya. Memberi support luar biasa akan hal yang dihadapinya. Meski begitu, Irina tak bisa benar-benar tahu apa yang Clara rasakan selama ini. Karena Irina tak akan bisa membaca isi hatinya.
Ponsel yang sejak tadi diam itu tiba-tiba bernyanyi. Membuat Clara dan Irina yang saling diam langsung menoleh. Rupanya ponsel milik Clara yang tengah berisik. Clara mengusap benda itu sesaat saat menemukan nama Lando di layar. Irina yang kepo turut melirik. Dia langsung paham saat membaca sebaris nama di layar. Sedikit menyingkir, Irina memberi ruang Clara untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Al?" sapa Clara.
"Syukurlah kamu ngangkat telponku, sayang." Lando mendesah lega di seberang sana. "Aku ada di butik kamu, tapi kata Dhania udah tiga hari kamu nggak ke butik. Kamu bener lagi nggak enak badan?"
Clara tanpa sadar mengangguk. "Iya, Al, aku emang lagi capek, pusing. Makanya aku males keluar."
Di seberang sana Clara bisa mendengar helaan nafas Lando. "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?"
"Aku bukannya bermaksud nggak mau ngasih tahu." Clara menghela nafas. "Tapi aku emang pengin istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Got It
RomanceSatria Evandra Arbani, laki-laki itu hanya menginginkan bertemu kembali dengan Clara Regina Anandhina, perempuan yang dipacarinya enam tahun silam. Saat mereka masih merasakan indahnya, cinta di masa putih abu-abu. Sebuah peristiwa terjadi, mengaki...