[64] Asking Forgiveness [64]

4.5K 257 35
                                    

.

.

.
Baru kali ini dalam sepanjang hidupnya Satria tak bosan saat menyetir. Biasanya dia akan bosan menatap jalanan panjang di depan. Apalagi ketika macet. Dia akan menyalakan musik rock untuk membunuh rasa bosannya. Tapi tidak untuk kali ini, Satria tak perlu menyalakan musik rock untuk mengatasi kebosanan.

Karena hanya dengan mendengar anaknya berceloteh saja Satria tak bisa menahan senyum lebarnya mengembang. Laki-laki itu menoleh ke samping melirik Andhara yang asyik memperhatikan jalanan sembari memeluk teddy bear pink miliknya. Sebenarnya bukan hanya teddy bear pink itu saja. Masih ada satu boneka besar lagi yang berada di kursi belakang, si winnie the pooh.

"Papa! Ada Elsa, Pa!" Andhara tiba-tiba menunjuk plang bergambar tokoh disney yang bisa membekukan dunia itu.

"Mana?" Satria ikut melirik ke arah yang ditunjuk anaknya. "Oh iya, gambar Elsa ya. Rara suka Elsa?" Dia palingkan tatapan pada putri kecilnya.

"Rara suka ollaf, Pa." Andhara menggeleng imut. "Aunty Irin janji mau beliin Rara boneka ollaf. Tapi nggak jadi-jadi. Aunty sibuk sekarang." Bocah itu mengerucutkan bibir sebal.

"Nggak apa-apa sayang, besok beli boneka ollaf-nya sama Papa aja, ya." Satria mengelus kepala Andhara dengan sayang.

"Beneran ya, Papa! Beli boneka ollaf ya, Papa!" Andhara berseru riang.

"Iya sayang."

Tak butuh waktu lama untuk Satria sampai di halaman rumahnya. Di sepanjang jalan tadi dia sudah memikirkan cara bagaimana memperkenalkan Andhara kepada papa dan mamanya. Tapi Satria sudah sampai disini. Dia tak mungkin mundur lagi. Bisa-bisa Clara dan kedua orang tuanya men-capnya sebagai laki-laki plin-plan jika dia mengantarkan Andhara pulang kembali.

"Kita udah sampai, Pa? Di rumah Oma-Opa yang baru?" tanya Andhara saat mobil sudah berhenti.

Satria tersenyum manis mengangguk. "Yuk, turun!" Dia menbukakan pintu mobil untuk anaknya.

Satria menggandeng tangan anaknya memasuki rumah. Karena halaman depan begitu sepi. Tidak ada siapapun disana. Hanya ada sepeda milik Zahra.

Masih dengan menggandeng Andhara, Satria memasuki rumah. Ruang tamu juga sepi. Baru setelah memasuki ruang tengah. Satria bisa mendengar suara tawa papanya yang kencang.

Hati Satria semakin gugup. Jantungnya berdetak tak karuan. Tak bisa membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya nanti.

Tapi sekali lagi, dia sudah melangkah sejauh ini. Tak ada alasan lagi untuk mundur.

"BangSat, ih! Dateng-dateng kok diem-diem bae! Kayak hantu tau!" Zahra yang duduk di lantai sedang memakan popcorn melambai.

Begitu juga dengan Wisma dan Sonia yang segera tersenyum ke arah anak sulung mereka.

Satria tersenyum. Kemudian menunduk menatap Andhara. "Oma-Opa barunya Rara ada disana. Rara salim ya sama mereka. Sama Aunty Zahra juga." tangannya mengelus kepala Andhara.

"Iya, Papa!" Andhara lalu berlarian menyalimi Wisma dan Sonia bergantian.

Wisma dan Sonia tentu bingung saat melihat anaknya membawa seorang anak kecil yang cantik. Lalu anak kecil itu menyalami keduanya dengan sopan. Siapakah anak perempuan yang dibawa Satria itu?

"Hallo Aunty! Nama Rara, Andhara. Tapi dipanggilnya Rara." Andhara tersenyum manis menatap Zahra.

Zahra mengangguk-angguk saja saat Andhara menyalaminya. Raut wajahnya sama bingung dengan kedua orang tuanya.

"Sat, kamu ini bawa anak siapa?" Wisma mengernyit heran.

"Iya, ih, BangSat! Lo nyulik anak siapa, sih?" Zahra ikut bertanya.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang