[47] The Second Truth [47]

4.5K 233 3
                                    

.

.

.

Satria sesekali menengok apakah anaknya sudah tertidur atau belum. Saat Andhara sudah terlelap, dia tutup buku dongengnya dan dia rapatkan selimut yang menutupi tubuh anaknya. Dia elus lembut wajah anaknya lalu terakhir dia berikan kecupan pengantar tidur.

Barulah setelahnya Satria keluar. Dan beruntung dia mendapati Clara hendak masuk ke dalam kamarnya. Satria segera memanggil.

"Ra?"

Gerakan tangan Clara terhenti. Dia menoleh ke samping, Satria berdiri di sana dengan kaos dongker dan jeans selutut. Tampan, satu kata itulah yang langsung terlintas dalam otak Clara.

"Aku pengin kita bicara."

Clara membalikkan tubuh, bersandar pada pintu kamar. "Apa? Aku rasa udah nggak ada yang harus dibicarain."

Satria menghela nafas. "Banyak Ra. Banyak yang harus kita bicarain." Clara mengangkat alisnya. "Termasuk lanjutan obrolan kita di vidcall tadi."

Satria tahu bahwa ini menjadi kesempatan berharganya untuk bisa bicara berdua dengan Clara. Dia berharap semua masalah mereka bisa teratasi. Lalu mereka bisa memulai sesuatu yang baru lagi. Hal-hal yang ingin Satria amini. Membuat Clara dan Andhara menjadi bagian dari hidupnya.

"Masuk," Clara mendorong pintu kamarnya, meminta Satria mengikutinya.

Satria memasuki kamar Clara dengan hati-hati. Menatap sekeliling, suasana kamar itu remang-remang karena Clara tak suka menyalakan lampu utama. Kamar sederhana dengan tempat tidur, almari dan meja rias. Setidaknya itulah yang Satria lihat.

Clara menggeser pintu balkon dan melangkah kesana. Satria mengikutinya lalu duduk di kursi balkon. Clara dan Satria duduk disana dibatasi sebuah meja.

"Mau ngomong apa?" tanya Clara dengan sorot dinginnya.

Satria tahu bahwa sendi-sendi tubuhnya mendadak gugup saat Clara menatapnya. Hingga mulutnya mengucapkan sebuah kata-kata.

"Kapan Rara lahir? Dan kemana aja kamu selama enam tahun ini?"

"Kamu nyariin aku?" tanya Clara sedikit takjub.

Satria mengangguk. "Tentu aja! Aku udah ubek-ubek seluruh Jakarta. Aku hubungin temen-temen deket kamu di sekolah. Tapi mereka semua nggak ada yang tahu keberadaan kamu. Bahkan aku bukain web-web kampus ternama, berharap nama kamu ada di deretan mahasiswa baru. Tapi ternyata nggak ada. Aku—"

"Aku nggak kuliah, Sat!" Clara memotong cepat. Rautnya tiba-tiba berkaca. Sesuatu yang membuat Satria terkejut. Clara mengatur nafasnya. "Kamu pikir aku bisa kuliah kayak kamu dan orang-orang lainnya! Di saat aku tahu bahwa aku hamil! Bahkan aku gagal ikut test gara-gara dua testpack itu  hancurin hidup aku!"

Satria tahu bahwa kata-kata Clara itu telah menusuk jantungnya. Rasanya seolah ada yang menikam dadanya.

"Ra—aku," Satria kehilangan kata-katanya. Menyadari bahwa perbuatannya sudah menghancurkan hidup Clara. "Minta maaf," lirihnya.

Clara mendengus lalu bangkit dan merapat ke tepian balkon. Mencengkram tralis besi itu erat-erat. "Rara lahir di bulan Februari tanggal 27." ucap Clara menatap langit malam.

Satria meremas kedua tangannya saat mendengar ucapan Clara itu. Dia tahu hatinya terus berdegup keras mendengar setiap kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang dicintainya itu.

Clara menatap Satria dengan raut pias dan mata berkaca. Dia sedekapkan kedua tangan erat. "Sebenarnya aku nggak berniat rahasiain ini dari kamu. Tapi saat itu aku bener-bener hancur. Kamu tahu kan—" Clara menatap Satria. "Aku pengen banget kuliah arsitektur. Bangun gedung-gedung tinggi, bikin perkantoran dan menciptakan lapangan kerja untuk orang-orang. Kamu tahu kan itu cita-citaku dari dulu."

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang