[27] Got The Clue [27]

4.5K 225 4
                                    

.

.

.

Suasana pagi yang ceria membuat wajah Satria bersinar cerah. Apalagi saat Sonia menyendokkan nasi goreng di piringnya. Rasanya sudah lama dia tidak menikmati suasana kekeluargaan seperti ini.

"Makan yang banyak ya, sayang."

Sonia tersenyum lembut pada anak sulungnya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihat Satria di meja makan ini. Karena anaknya itu lebih sering tinggal di apartemen semenjak bekerja.

"Iya nih, sekarang kamu tambah kurus deh, nggak pernah makan ya kamu, Sat?" ledek Wisma.

"Bukannya nggak makan—cuma kan kadang," Satria mendesah mengedikkan bahu.

"BangSat mah sok sibuk!"

Celetukan bernada sarkas itu membuat perhatian di meja makan teralih. Zahra muncul sudah rapi dengan map dan tas, bersiap untuk kuliah.

"Hush! Zahra! Masa kamu manggil kakak kamu begitu!" tegur Sonia.

Zahra nyengir. "Mama mah nethink. BangSat tuh singkatan bukan umpatan!" Zahra melirik Satria. "Kepanjangan dari Abang Satria. Jadinya BangSat, gitu!" cengirnya lalu mengambil piring. "BangSat jadi kan, anterin aku kuliah?"

"Jadi dong," jawab Satria.

"Sat, kamu sering-sering dong pulang ke rumah," pinta papanya. "Mamamu ini hobinya khawatirin kamu mulu."

Satria menatap mamanya penuh maaf. "Maafin Satria, Ma. Cuman gimana, enakan cus ke apartemen kalo dari kantor."

"Ya, minimal kamu seringlah kabar-kabarin rumah, sayang." Satria mengangguk-angguk.

"Ih, Bangsat, ayo buruan! Gue udah telat nih!" Zahra tahu-tahu menarik lengan Satria dengan paksa. Membuat laki-laki itu nyaris tersedak air minum.

Satria dan Zahra buru-buru berpamitan lalu masuk ke dalam mobil.

"Udah lama deh, nggak disupirin Bangsat," Zahra nyengir saat mobil Satria sudah keluar dari rumah.

Satria berdecak. "Lebay! Orang minggu lalu aja kamu masih minta dianterin nonton konser."

Zahra hanya menjulurkan lidah jahil. "Ngomong-ngomong BangSat, lo lagi deket sama siapa sih sekarang ini?"

Satria menaikkan alis. Sebelah tangannya mencubit pipi adiknya jahil. "Kepo!"

"Ih, serius nanya!" Zahra cemberut mengusap pipinya yang dicubit. "Masih sama Mbak Arrain?"

Satria menatap tidak percaya. "Kok jadi Arrain, kita cuma temen."

"Temen, tapi lama-lama jadi demen. Biasanya gitu."

"Nggak bakal!"

Zahra berdecih. "Sok ganteng banget sih lu Bang! Gini nih kalo manusia gamon. Yang dipikirin yang nggak ada. Pasti lo masih ngarepin Mbak Clara, kan?"

Satria mendesah malas. Pagi-pagi begini dia sudah mendengar ceramahan adik perempuannya. "Sok tahu!"

Satria bernafas lega saat mobilnya sudah berhenti di depan fakultas tempat Zahra berkuliah. "Gih turun!" usir Satria.

Zahra memanyunkan bibir. "Dih ngusir!" serunya lalu turun dari mobil.

Satria hanya tersenyum. "Pulangnya mau dijemput nggak?"

Bukannya menjawab, Zahra malah kembali menjulurkan lidah lalu berlarian memasuki gedung kampus. Satria hanya geleng-geleng kepala lalu memutar mobilnya menuju kantor.

Sesampainya di kantor, Satria menaikkan alis heran saat mendapati sekertarisnya—Hirla tertawa sendiri di depan ponselnya.

Satria meringis geli. "Kamu kenapa Hirla?"

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang