[81] We Are Just Friend [81]

5.1K 334 63
                                    

.

.

.

Satria membelokkan crv-nya ke area rumah sakit yang sudah dihafalnya. Setelah memarkirkan mobil, laki-laki itu tak langsung turun untuk menemui seseorang di dalam rumah sakit itu. Dia menyandarkan kepala dan memejamkan mata sejenak.

Hal ini tentu menjadi beban pikiran tersendiri bagi Satria. Sejak semalam, dia terus memikirkan harus mulai bercerita dari mana dengan Arrain. Dari mana dia harus memulainya?

Apalagi Satria sudah mendengar dari Clara, bahwa hubungan Clara dan laki-laki itu sudah berakhir. Laki-laki bernama Lando itu sudah memutuskan pertunangan mereka. Jujur saja, Satria merasa lega. Kesempatannya untuk kembali pada Clara semakin besar. Tapi apa perempuan itu mau kembali padanya lagi? Itu yang harus Satria usahakan.

Setelah mengambil nafas panjang, Satria memutuskan untuk keluar dari mobilnya. Perlahan-lahan melangkahkan kaki memasuki lobby rumah sakit. Menuju poli tempat Arrain membuka praktek. Menanyakan kepada perawat yang berjaga, dia bisa menemui Arrain atau tidak. Perawat itu mengizinkan Satria bertemu Arrain, meski hanya lima menit saja.

Maka disinilah Satria berdiri sekarang. Di depan pintu berwarna coklat dengan ukiran kayu sederhana. Nama Arrain tergantung manis disana. Dengan mengatasi sedikit kegugupan, Satria mengetuk pintu perlahan.

"Masuk!" suara Arrain terdengar dari dalam.

Satria meraih gagang pintu lalu mendorongnya pelan. "Rain?"

Mendengar suara yang begitu dikenalnya itu membuat Arrain mendongak kaget. Apalagi saat melihat wajah itu muncul mengganggu harinya yang baru dimulai. Arrain menggeram tiba-tiba. Dia bangkit dan melangkah ke arah pintu. Tangan kecilnya meraih gagang pintu cepat.

"Ngapain lagi lo kesini?" Arrain menyalang marah. Dia memelototi Satria. Hal yang tak pernah dia lakukan pada laki-laki itu. "Pergi Satria! Gue nggak mau ngelihat lo lagi!" Arrain lalu mendorong pintu. Memaksa Satria untuk keluar.

Tapi Satria tetap memaksa. Terus menahan pintu agar Arrain tak menutupnya. Dia hanya ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu saja.

"Rain, tunggu!" Satria masih berusaha menahan pintu. "Gue cuma mau jelasin semua ke lo Rain. Please, dengerin gue dulu!"

Arrain kekeuh menggelengkan kepalanya. Kekeuh untuk mengusir Satria dari ruangannya. "Pergi!" serunya sambil mendorong pintu. Nafasnya sedikit terengah karena Satria menahan pintu begitu kuat. Bagaimanapun badannya yang kecil ini tak sebanding dengan tenaga Satria yang besar.

"Please, Rain! Gue cuma mau ngomong sekali ini aja sama lo!" jelas Satria dengan suara sedikit keras. "Gue mohon, sebentar aja Rain!"

Arrain kembali menyalang marah. Hatinya masih begitu terluka. Mengetahui kenyataan yang menyakitkan hatinya. Bahwa laki-laki itu menyembunyikan sesuatu yang teramat besar. Sesuatu yang menyakitinya secara telak.

"Pergi! Gue nggak mau ngelihat lo lagi, Bangsat!" Arrain tanpa sadar mengumpat.

Satria menghela nafas panjang. "Gue mohon, please!"

Tapi Arrain tetep kekeuh menutup pintu. Hingga Rista datang memberitahukan bahwa praktek harus segera dimulai. Para pasien sudah menunggu. Satria menyerah. Namun dia berkata akan datang lagi untuk menemui sahabatnya itu.

"Oke. Tapi gue bakal balik lagi, Rain!" Satria mendesah. "Gue cuma mau jelasin semuanya ke lo! Itu aja!"

Satria mengambil nafas panjang. Perlahan memundurkan langkah. Dia berbalik meninggalkan lorong rumah sakit itu hampa. Satria kembali ke dalam mobil menelan kekecewaan. Menyalakan mesin mobilnya. Laki-laki itu melajukan mobilnya menuju kantor.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang