[26] The Playboy & The Mechanic [26]

4.6K 225 10
                                    

.

.

.
Irina menghela nafas saat menemukan Clara termenung di tepi kolam renang rumahnya. Sedikit banyak dia sudah mendengar cerita dari Intan bahwa Clara dan Lando akan bertunangan dalam waktu dekat. Irina cukup terkejut mendengar berita itu. Mengingat dia adalah satu-satunya orang yang tahu rahasia Clara.

Melihat Clara yang termenung membuat Irina langusung paham apa yang terjadi.

"Do you have something to tell me? My beautiful sista?" Irina duduk di kursi santai sebelah Clara. Dia meletakkan tas disana lalu memperhatikan Clara.

Clara mendongak saat seseorang tahu-tahu duduk di sebalahnya. Dia harusnya tak terkejut saat melihat Irina duduk di sebelahnya. Raut wajahnya tampak tenang menghadap Clara. Melihat gelagatnya, harusnya Irina sudah mendengar apa yang terjadi.

Clara menunjukkan sorot matanya yang berkaca. Lalu kembali menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Tanpa dia berbicarapun Irina pasti sudah tahu apa yang terjadi.

"Kapan?" Irina bertanya kecil.

"Satu bulan dari sekarang." lirih Clara.

Irina menghela nafas. "If you dont love him. Why do you keep doing this?"

Clara mendongak dengan raut merana. "Lo pikir gue punya pilihan lain?"

Irina menggaruk kepala. Menatap Clara menjadi sama pusingnya. Melihat raut Irina yang frustasi membuat raut Clara tambah pias.

"Gue akan semakin menyakiti dia kalau menolak pertunangan ini." Clara memalingkan wajah lelah. "Irin gue harus gimana?"

"You like—" Irina mendesah. "Lo beneran menyimpan bom waktu yang sangat besar, Darlings. Gue khawatir bom lo ini akan melukai semua orang."

Maka Clara semakin mengeratkan pelukannya pada kedua lutut. Mengusap wajah frustasinya. Memikirkan pertunangannya dengan Lando membuat kepalanya berdenyut. Apalagi setelah makan malam kemarin Dena mulai membahas tentang vendor.

"Darlings," Irina mendekat segera memeluk Clara dengan erat. Dia menyandarkan wajah Clara pada bahunya. Mengusap kepala saudarinya penuh sayang. "Apapun yang lo rasain saat ini, lo bisa cerita ke gue. Jangan dipendam sendiri, okay!"

Clara tak menjawab, dia menatap hamparan air dalam kolam yang tenang. Namun dia tahu pikirannya tidak setenang riak air. "Kenapa sih gue harus ngalamin ini semua? Kenapa Irin?"

Irina menghela nafas. Masih membelai kepala Clara memberi ketenangan. "Darlings, lo cuma mengalami satu fase lebih cepat dari yang lain. Jadi nggak usah terlalu dipikirin."

Clara menyentak kepalanya. Menatap Irina tidak terima. "Apanya yang fase Irin! Ini semua tuh aib!"

Sejujurnya Irina tidak terlalu suka dengan kata-kata Clara. Dia tidak bisa membayangkan Andhara yang begitu imut itu adalah sebuah—ah sudahlah.
Irina menatap sorot mata Clara. "Why don't you find Rara father? I mean, you still love him, right?"

Clara menoleh murka. "Apa lo bilang?! Nggak akan! Gue nggak akan nyari dia! Pikir dong Irin! Dia yang udah hancurin hidup gue! Hancurin masa depan gue! Dan gue akan terus membenci dia!"

Irina mengehela nafas. "You said you hate him. But, you cant forget him?"

Kedua mata Clara seketika memanas. Mengambil nafas panjang-panjang, dia memang pembohong akut. Apa yang Irina katakan memang benar. Karena dia tak bisa menghapus bayangan Satria dengan mudah.

"I think, dia pasti akan nerima Rara, kan? Karena dari cerita-cerita lo, lo bilang dia nice guy."

Clara kembali memeluk kedua lututnya. "Gimana kalau sekarang Satria udah punya perempuan lain? Udah punya pacar misalnya. Atau malah—udah menikah?" gumamnya tanpa sadar.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang