[11] One More Secret Holder [11]

5.8K 293 23
                                    

.

.

.

Clara membuka pintu kamar dan menutupnya kasar. Setelah itu tubuhnya luruh di balik pintu. Apa yang sejak tadi dia tahan di dalam hati tercabut keluar. Kesedihannya. Ketakutannya. Kefrustasiannya. Semuanya menyatu menyipta bening air mata. Clara menangis, berteriak dan menjadi gila.

Kenapa di antara ribuan orang harus aku yang alami ini? Kenapa di antara ratusan perempuan di luaran sana, cuma aku yang ngalamin ini? Kenapa? Kenapa cuma aku yang merasa menderita???

Clara meggeram tertahan lalu suara tangisnya mulai keluar. Dia angkat tangannya untuk meremas rambut di atas kepala. Berharap semua sesak di dada akan hilang sudah. Namun nyatanya hal itu tak semudah yang dia harapkan. Hingga bayang-bayang kebersamaan mereka kembali menyatu dalam ingatan Clara. Laki-laki itu tersenyum, memanggil namanya, menggandeng tangannya. Mereka tertawa bersama lalu tiba-tiba hanya gelap yang ada di fikiran Clara.

Tangisan Clara semakin terdengar jelas, penuh kesedihan dan sesal. Tangannya masih senantiasa meremasi rambutnya yang hitam legam.

Satria, kamu jahat sama aku. Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu buat hidupku berantakan? Kenapa?

Suara dering ponsel menggema di antara suara tangis Clara. Perempuan itu mendongak mencari tahu keberadaan benda pipih yang berbunyi itu. Kedua tangannya mengusap kasar air mata yang membasahi. Dia melangkah ke arah tempat tidur begitu melihat ponselnya ada di atas nakas.

Clara meraih benda itu dan duduk di tepi ranjang. Sebaris nama yang terpampang di layar cukup membuatnya mampu menghela lega. Tak berapa lama kemudian Clara sudah mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Rin." sapanya.

"Hai, darlings! Apa kabar lo? Kangen nggak sama gue?" balas suara centil di seberang sana.

Clara berdeham pelan. "Lo kapan pulang sih, Rin? Gue—" Clara mengigit bibirnya. "Gue butuh temen ngobrol."

Suara helaan nafas terdengar di seberang sana. Diikuti suara lemah lembut si penelpon—Irina. "Lo habis nangis, ada apa?"

"Nggak apa-apa, biasa aja kok. Gue juga nggak nangis."

"Nggak mungkin lo nggak nangis, kalo suara lo yang udah jelek itu jadi tambah jelek mirip radio rusak! Ck, sabar Darlings, gue balik Indo sekitar 3 hari lagi kok. Setelah itu kita bisa ngobrol-ngobrol cantik sambil nikmatin omuk yang bakal gue jadiin oleh-oleh nanti, okay!"

Clara hanya tersenyum tipis. Setidaknya mendengarkan ocehan Irina bisa menghibur hatinya yang kacau. "Okay, jadi gimana? Korea asyik?"

Sama seperti Satria yang memiliki Darga sebagai pemegang rahasia. Clara juga memilih Irina sebagai teman untuk berbagi rahasia. Keduanya sudah dekat sejak kanak-kanak. Masa-masa sekolah dasar mereka habiskan bersama. Hingga saat sekolah menengah Irina harus berpindah ke Amerika mengikuti kedua orang tuanya. Ibunya adalah kerabat jauh Intan yang menikah dengan pria asal negeri paman Sam. Meski terpisah jarak yang jauh, hubungan Clara dan Irina tak pernah surut. Keakraban keduanya masih terjalin hingga sekarang.

Tiga tahun lalu Irina mengikuti jejak Clara kembali ke Indonesia. Perempuan itu lalu bekerja menjadi guru bahasa Inggris di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Dan sekarang sekolah tempat Irina bekerja itu sedang mengadakan trip ke Korea selama satu pekan.

"Asyik sih, Beb. Yang nggak asyik itu gue jadi nggak bisa ngeceng ke gedung-gedung big 3. Karena apa? Karena gue harus selalu memastikan anak murid gue nggak nyasar di negeri orang. Syebeeel. Gue jadi nggak bisa ngecengin para dedek gemes keluar dari kandang. Oh my God!"

Celotehan Irina itu tanpa sadar membuat Clara tertawa kecil. "Okay kalo gitu. Ya udah, nikmatin aja liburan lo disana, Rin. See you soon in 3 days."

"Okay, see you soon in 3 days, Clara Darlings."

Dan Clara menutup panggilan itu.

***

Masa lalu memang tidak bisa berubah. Namun masa lalu dapat merubah apa yang ingin kita lakukan di masa depan. Setidaknya begitulah yang Satria pernah baca di beberapa petikan buku. Akan tetapi apa yang bisa Satria lakukan saat masa lalu itu menjadi sumber kelemahannya. Kelemahan yang tak bisa dia jadikan kekuatan karena satu-satunya orang yang menjadi sumber kekuatannya belum Satria temukan. Clara yang menghilang belum dia temukan.

Satria mengusap wajah kasar dan mengamati suasana lorong rumah sakit pagi ini. Masih pukul tujuh pagi, Satria tak tahu apa yang membuat kakinya mengayun kemari. Yang dia pahami adalah ada seseorang yang ingin ditemuinya sebelum beranjak ke kantor.

Satria tersenyum pada seseorang perawat yang keluar dari pintu yang menjadi tujuannya. Tersenyum canggung, dia menyapa perawat itu.

"Maaf, Dokter Arrain ada di dalam?" tanya Satria. Perawat itu mengangguk dengan kening berkerut. "Ada. Tapi maaf untuk praktek dokter baru akan dimulai 30 menit lagi."

Satria tertawa dengan nada canggung juga. "Saya bukan mau periksa pada Dokter Arrain. Saya hanya ada perlu sebentar sama dia. Apa saya bisa ketemu?"

"Oh," perawat itu mengangguk paham. "Kalau begitu silahkan masuk."

Setelah memberi izin perawat itu kembali bertugas. Meninggalkan Satria yang mulai mengetuk pintu.

Satria mengetuk pintu berwarna putih itu beberapa kali hingga gumaman seseorang di dalam menyuruhnya masuk. Tangannya perlahan memutar gagang dan Satria bisa melihat orang itu duduk di balik meja kebesarannya. Papan nama di atas meja itulah yang selalu mencuri perhatian Satria saat masuk ke dalam ruangan ini.

Dr. Arrain Kinara, Sp.A

"Maaf, praktek baru dimulai setengah jam lagi. Tolong tunggu—"

Suara itu berhenti berbicara karena saat ini perempuan itu—Arrain sudah menganga lebar menatap sosok di hadapannya.

"Satria!"

Arrain terpekik hingga tanpa sadar bangkit dari posisi duduknya. Perempuan itu menganga kaget melihat laki-laki itu muncul tiba-tiba di ruang prakteknya selayaknya hantu. Dia tersenyum senang hingga akhirnya keluar dari meja dan melangkah menghampiri Satria dengan mata menyipit tajam.

"Astaga! Setelah berbulan-bulan nggak ada kabar! Dichat jarang bales! Ditelponin bilangnya sok sibuk! Meeting sana, meeting sini, banyak kerjaan! Sekarang tiba-tiba muncul di depan ruangan gue kayak hantu!" Arrain berkacak pinggang. "Mau apa lo, hah?! Mau daftar jadi pasien gue?! Sorry, gue nggak terima perjaka bangkotan kayak lo jadi pasien gue! Kriteria pasien gue itu yang masih imut-imut, mini-mini, kayak oreo. You understand?"

Satria melepas tawanya saat Arrain berhenti bicara. Tangannya tanpa sadar memegangi perut karena melihat raut lucu sahabatnya sejak kuliah itu. "Lo itu ya Rain! Temen lo dateng bukannya disambut pake minum. Ini malah lo sambit pake petasan banting. Nyerocos mulu!" ucap Satria tanpa sadar mengacak-acak rambut Arrain yang hari ini dibiarkan tergerai mengombak.

Arrain terbahak. "Salah sendiri ngagetin orang kayak hantu!" serunya melangkah kembali ke arah meja diikuti Satria yang kini sudak duduk dihadapan dokter cantik itu.

"Jadi apa yang membuat Bapak Satria yang katanya sok sibuk itu dateng ngapelin dokter cantik pagi-pagi begini? Lo tahu kan, praktek gue mulai setengah jam lagi." Arrain berucap sembari memainkan rambutnya yang bergelombang.

Dan Satria hanya tersenyum menatap perempuan di hadapannya itu.
.

.

.
tbc...

Haiiii, sebenarnya mau up sekitar jam 4-5 sore tadi... Tapi apa daya perkerjaan belum selesei....

Okelah, happy reading semua...

Jangan lupa vote...

Ramaikan colom comment ya...

Thank youuu...

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang