[35] Decision That I Made [35]

4.8K 234 27
                                    

.

.

.

Clara tidak bisa tenang. Sejak semalam keluar dari apartemen Satria. Hatinya seakan tak mengenal apa itu tenang dan damai. Karena yang hatinya rasakan adalah takut dan gelisah. Dan yang selalu ada dalam kepalanya adalah wajah pucat semalam. Juga rintihan saat memanggil namanya.

Clara menggigit bibir, menahan air mata yang seolah siap luruh. Meski akhirnya liquid bening itu mengalir juga. Kenapa kita jadi kayak gini Sat? Dulu kita bahagia? Tapi kenapa sekarang kita sengsara kayak gini?

Clara keluar terburu-buru dari apartemen Satria. Menahan air matanya yang terus tumpah. Dia segera meraih ponsel dan menghubungi Irina. Menanyakan keberadaan perempuan itu. Lalu saat Irina mengatakan bahwa dia menunggu di coffe shop bawah apartemen. Clara segera menyusulnya.

Tak butuh waktu lama bagi Clara untuk menemukan keberadaan Irina. Segera saja dia menghampiri perempuan itu. Duduk di hadapan Irina. Clara menggigit bibirnya saat tak bisa menghalau titik-titik bening yang sudah mengumpul di sudut mata. Seketika membuatnya tergugu pilu.

Irina segera merengkuh Clara saat saudarinya itu terlihat rapuh. "Whats wrong Darlings? Kenapa tiba-tiba nangis? Hmm?"

Clara menggeleng-geleng dalam peluk Irina. Menahan sesak yang begitu menyiksa. "Dia sakit Irin. Dia sakit."

Irina mengurai peluknya lalu menatap Clara. "You already saw him?"

Clara mengangguk perlahan. Membuat perasaannya campur aduk tak tertahan. Dia teringat Satria yang tertidur pulas namun juga meracaukan namanya di saat bersamaan.

"Dia udah tidur waktu gue masuk ke dalam Irin. Tapi itu nggak apa-apa. Karena gue nggak akan sanggup buat berhadapan sama dia lagi. Gue benci dia." Irina menenangakan, membelai punggung Clara lembut.

"Tapi lo nggak bisa kayak gini terus, Darlings. Lambat laun dia bakal segera tahu kalau dia adalah papanya Rara."

Clara menggeleng panik. "Enggak! Gue nggak mau dia tahu!"

Irina mendesah menatap Clara. "You can't lie forever." Menatap Clara dalam, Irina terus berbicara. "Darlings hear me. Suatu saat akan ada moment dimana dunia harus tahu bahwa lo dan Satria adalah papa-mamanya Andhara. Trust me. Suatu saat kalian pasti akan mengalami situasi seperti itu. And you can't deny it."

Clara tersentak dari lamunananya saat suara ceklekan pintu terdengar menderit. Menoleh perlahan, matanya membulat saat mendapati tubuh kecil Andhara masuk ke dalam kamar. Andhara melangkah dengan wajah tertunduk ke hadapan Clara. Sangat takut menatap mamanya. Hingga gadis kecil itu memutar-mutar tubuh tak tentu.

"Mama, kapan uncle handsome kesini? Rara pengen ketemu."

Clara mematung saat pertanyaan kecil itu keluar dari mulut Andhara. Menatap gadis kecil itu tak percaya. Sekaligus bertanya-tanya apakah hanya Satria yang ada di hatinya.

"Kenapa kamu mau ketemu dia?" tanya Clara dengan nada dingin seperti biasa.

"Ehm," Andhara menggeleng takut-takut. Menghindar dari sorot mengintimidasi mamanya. Namun dia beranikan menatap mamanya. Agar yang dia pinta terkabul semua. "Rara pengen main sama uncle, Ma. Rara mau ketemu sama uncle handsome, Mama."

Mulai mengeluarkan nada merengek. Andhara tak gentar meminta. "Kata Oma, kalo Rara pengen ketemu sama uncle handsome, Rara harus bilang ke Mama. Kata Oma, uncle handsome itu temen Mama."

Clara tahu bahwa ini adalah taktik Intan untuk menguak apa yang dia sembunyikan selama ini. Dan Intan cukup cerdas dalam melakukannya.

Clara tanpa sadar berjongkok, menyamakan tingginya pada Andhara. Tangannya mengusap dahi Andhara yang penuh keringat hingga rambut panjang anak itu terurai kusut.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang