.
.
.
Irina menghentikan juke merahnya di seberang jalan dua gedung tinggi. Irina menatap gedung itu lalu membuka layar ponselnya. Memeriksa kembali nama apartemen yang baru saja dikirimkan Marlo. Sepertinya dia sudah sampai di tempat yang benar.
"Kayaknya ini bener gedungnya," Irina menoleh pada Clara.
Clara tak menjawab. Namun pandangannya tertuju pada gedung tinggi di hadapannya. Jadi selama ini, disini tempat Satria tinggal. Dia tiba-tiba merasa gugup dan cemas. Menautkan kedua tangan, Clara beharap apa yang dilakukannya ini adalah hal yang benar.
Clara tak bisa mengabaikan perasaannya yang tiba-tiba khawatir mendengar collapsed-nya Satria. Rasa khawatir dan cemas itu muncul sendiri tanpa mampu dia bendung. Dan semakin cemas saat pikiran Clara melantur kemana-mana. Bagaimana jika Satria—mengalami hal yang buruk?
"Irin," Clara tahu-tahu meremas lengan Irina.
Irina yang hendak membelokkan mobilnya menoleh. "Yes?"
Clara kembali menggigit bibirnya. "Gue nggak mau ketemu sama sipapun."
Irina menaikkan alisnya. Tak memahami ucapan Clara.
"Gue nggak mau ketemu siapa-siapa disana, apalagi Marlo!" Clara menggigit bibirnya menatap nanar langit malam. "Gue cuma mau lihat Satria sebentar—sebentar aja."
Clara tak bisa membayangkan bagaimana jika dia bertemu dengan Satria apalagi teman-temannya. Berpapasan dengan Arbin dan Marlo di jalan waktu itu saja sudah membuatnya was-was. Apalagi harus bertemu secara langsung. Karena pasti mereka akan mencecarnya. Mengapa selama ini dia meninggalkan Satria. Dan Clara tak akan bisa menceritakan yang sebenarnya.
Irina tersenyum, dia bisa merasakan kecemasan Clara. Dia lalu mengelus-ngelus lengan Clara. "Dont worry Darlings, gue bakal pastiin nggak ada siapa-siapa disana." Irina kembali memeriksa ponselnya. Membaca ulang pesan dari Marlo. "Marlo said, kondisi Rara father baik-baik aja. Dia cuma demam aja. Nggak parah kok."
Entah mengapa Clara ikut menghela lega saat mendengar kondisi Satria baik-baik saja. Rasanya seperti dia baru saja melepaskan satu beban menegangkan. Kecemasannya tadi pun seolah menguap.
"Tapi kalo nanti ada orang disana gimana Irin, gue—"
"Kita lihat dulu situasinya, oke."
Setelah mengatakan itu, Irina membelokkan arah setirnya. Seketika mereka sudah memasuki basement apartment Satria. Setelah berhasil mermarkirkan mobil. Irina mengajak mereka naik ke lantai 11 tempat unit Satria berada. Jangan tanyakan darimana Irina mendapat info penting itu. Tentu saja dari Marlo. Dari siapa lagi memang.
Clara dan Irina berjalan lamat-lamat menyusuri lorong lantai 11. Sembari mencari unit nomor 99, mereka mengamati situasi. Namun Clara buru-buru menarik Irina saat melihat bayangan seseorang yang dia kenal ada disana.
"Irin, itu ada Darga!" panik Clara.
"Darga, who?" Irina tampak tak mengerti.
"Darga itu temen sekelas gue dulu. I mean, he is Rara father cousin."
Irina tampak berfikir. Dia lalu mengajak Clara untuk bersembunyi di balik pilar. Oke, sekarang mereka sedang berlagak menjadi mata-mata. Irina segera mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
"Hello Marlo, can you help me for a moment?"
Clara tidak mengerti apa yang dibicarakan Irina di telepon dengan siapa lagi kalau bukan--Marlo. Karena menit selanjutnya Irina menutup telepon dengan senyum di wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Got It
RomanceSatria Evandra Arbani, laki-laki itu hanya menginginkan bertemu kembali dengan Clara Regina Anandhina, perempuan yang dipacarinya enam tahun silam. Saat mereka masih merasakan indahnya, cinta di masa putih abu-abu. Sebuah peristiwa terjadi, mengaki...