[22] She Was Sick [22]

5.2K 249 39
                                    

.

.

.
Pagi-pagi sekali Clara sudah bersiap. Perempuan itu sudah rapi dengan short dress floral dan flatshoes putih. Wajahnya sudah dia poles dengan make-up secukupnya. Rambutnya yang sebatas bahu juga sudah dia tata dengan rapi.

Pagi ini perasaan Clara sudah cukup baik. Dia tak lagi—ah, bukan tak lagi. Maksudnya sudah tak begitu memikirkan soal pertunangan dengan Lando. Laki-laki itu pun dua hari ini jarang menghubunginya. Mungkin sedang sibuk dengan pekerjaan. Clara tak mau terlalu memikirkan.

Clara memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing masalah pertunangan itu. Biarlah semua mengalir seperti air. Menghela nafas panjang. Masih ada hal lain yang harus dia pikirkan. Butik, misalnya.

Sejak tidak enak badan beberapa hari lalu Clara memang tidak bisa mengelola butik dengan maksimal. Sedikit-sedikit dia memasrahkan pada Dhania. Membuatnya seperti orang yang tidak bertanggung jawab saja.

Clara mengedarkan pandangan ke arah ruang makan yang sepi. Dia menarik kursi dan meletakkan sling bagnya di kursi kosong sampingnya. Clara baru akan menarik piring di hadapannya. Saat tiba-tiba dirinya teringat sesuatu.

"Mama mana, Pa?" Clara mengatupkan mulut rapat—lalu bergumam lirih. "Sama Rara juga?"

Aldan ikut mengedarkan pandangannya. Mencari-cari keberadaan istrinya. "Kayaknya sih di kamar Rara. Tadi sehabis siapin sarapan Mamamu ngecek Rara di atas."

Clara mengangguk-angguk saja. Melanjutkan gerakannya mengambil piring. Lalu mengisinya dengan nasi goreng yang masih tercium wangi bawang goreng di atasnya.

Clara menikmati sarapannya dengan tenang. Begitu juga Aldan yang tampak tak ingin membuka obrolan. Belajar dari yang sudah-sudah, setiap Aldan mencoba mengobrol dengan putrinya itu pasti akan berakhir dengan debat tak berujung.

Aldan memundurkan kursi cepat membuat Clara mendongak heran. "Papa mau pergi?"

"Hmm," Aldan mengangguk singkat. "Papa ada meeting yang nggak bisa diwakilkan," laki-laki itu membereskan ponsel dan tasnya. Lalu Aldan mengusap kepala Clara dengan seulas senyum. "Papa berangkat ya. Tolong bilangin Mama kamu kalo Papa langsung pergi."

Clara mengangguk saja. Terus menatap punggung Aldan yang menjauh. Lalu dia kembali menghabiskan sarapannya. Clara mengernyit heran karena sampai dia selesai menyantap sarapan, Intan tak kunjung menampakkan diri. Menatap ke lantai atas sejenak. Clara hanya menghela. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Intan di kamar Andhara?

Menimang sejenak, akhirnya Clara naik ke atas setelah membereskan piring kotor bekas sarapannya dengan papanya.

"Ma, " panggilnya. Namun tak ada yang menyahut membuatnya mengernyit. Sebenarnya dimana mamanya?

Memutar knop pintu kamar orang tuanya, Clara melongok ke dalam. Kosong. Intan tidak ada disana. Clara melewati pintu kamarnya sendiri. Karena mana mungkin Intan berada di dalam.

Lalu hanya ada satu pintu kamar yang belum Clara buka. Menghela nafas panjang. Baru dia akan membuka knop, pintu lebih dulu dibuka dari dalam. Intan muncul dengan wajah panik. Saking paniknya mencengkeram bahu Clara.

"Ah, untungnya kamu belum pergi. Ra. Papa kamu mana?"

Clara mengernyit bingung. "Udah pergi, Ma. Katanya ada meeting penting yang nggak bisa diwakilkan."

Intan menghela masih dengan raut cemas. Membuat Clara semakin heran saja. "Ada apa sih, Ma?"

"Rara, Ra," Intan menatap muka pintu cemas. "Rara badannya panas!"

Kedua mata Clara membulat. Namun dia langsung mengendalikan raut mukanya. "Ya udah, tinggal dikompres aja, Ma."

Intan menggigit bibir panik. "Udah Mama kompres berkali-kali, tapi panasnya belum turun juga. Gimana ini, Ra?"

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang