[54] Son & Father [54]

4.9K 220 20
                                    

.

.

.

Satria memunculkan wajahnya dari dalam air. Nafasnya sedikit tersengal-sengal mungkin efek dia sudah lama tidak berenang. Mengusap wajah, Satria akhirnya kembali ke tepian. Duduk lama di pinggir kolam.

Tak berapa lama kemudian sebuah handuk tiba-tiba mendarat di belakang kepalanya membuat Satria terkaget. Dia menoleh dan mendengus melihat papanya nyengir di belakang. Tahu sekali jika itu ulah Wisma.

"Papa kirain tadi hantu, waktu airnya gerak sendiri. Tapi pas lihat baju sama jam tangan di kursi. Ternyata kamu lagi renang sore-sore." Wisma tersenyum lalu mengikuti jejak anaknya duduk di tepian kolam. "Kapan pulang?"

"Baru aja," jawabnya sembari membasuh air di tubuh. "Papa dari mana?"

"Dari kamar, ngerjain sesuatu di atas." Wisma tersenyum. "Kamu kesepian ya di apartemen, makanya pulang ke rumah?"

Satria tersenyum kecil. "Kangen sama Papa sama Mama. Sama Zahra juga."

Wisma mencebik seolah tidak percaya dengan ucapan anaknya. Cukup lama ayah dan anak itu terdiam hingga Satria mengeluarkan satu kalimat aneh menurut Wisma.

"Pah, waktu aku lahir dulu Papa sama Mama seneng nggak?"

Wisma mengangkat alis. "Kamu nanya apaan sih? Ya jelas seneng lah! Apalagi kamu itu cucu pertama dari keluarga Papa maupun keluarga Mama kamu. Pertanyaanmu kok ngadi-ngadi banget. Sakit kamu?" Wisma menyentuh kening Satria.

"Aku nggak sakit, Pa."

"Terus?"

"Lagi mikir aja."

Dan Satria terdiam lama. Memikirkan seandainya kisahnya dan Clara tidak kacau seperti ini. Mungkin dulu Satria bisa menyaksikan ketika putri kecilnya lahir. Sehingga dia bisa menimang dan menggendong Andhara ketika bayi. Membayangkan semua itu membuat nafasnya sesak saja.

Dan hal itu tak luput dari perhatian Wisma.

"Kamu ada masalah?" tanya Wisma.

Satria menggeleng. Belum saatnya dia menceritakan soal Andhara pada kedua orang tuanya. Mungkin nanti saat dia sudah meminta izin Clara untuk membawa Andhara kemari.

"Nggak usah bohong." Wisma menyenggol Satria.

"Enggak Pa. Nggak ada apa-apa." Satria kembali menatap papanya. Versi dirinya yang jauh lebih tua. "Aku boleh ngomong sesuatu nggak sama Papa?"

Wisma berdecak. "Kamu mau ngomong apa? Ngomong ya tinggal ngomong aja lah."

Satria menghela nafas panjang. "Kalau aku buat satu kesalahan. Papa sama Mama bakal maafin aku nggak?"

Wisma melongo. Lagi-lagi dibuat tidak mengerti dengan pertanyaan anaknya. Rautnya berubah seram. "Sat, jangan bilang kalau kamu habis nabrak orang sampe meninggal?!"

Satria melotot. "Ya enggak lah, Pa!"

"Lha terus?" Wisma masih menatap lekat-lekat anak lelakinya.  Pandangannya kemudian menyipit. "Jangan-jangan kamu nilep uang perusahaan ya?"

Satria kembali melotot. Astaga, mengapa tuduhan papanya ini menyeramkan semua? "Enggak lah, Pa! Kok nuduhnya sembarangan banget!"

"Oh! Papa tahu!" Wisma tersenyum cerah. Satria tampak menanti. "Kamu waktu kecil sering maling uang Papa ya?! Sekarang kamu ngerasa berdosa, makanya baru minta maaf."

Satria mendengus kecil. "Bukan, Pa."

"Terus apa dong?!" Wisma bertanya kepo.

Satria hanya diam. Kembali memandangi hamparan air kolam yang tenang. Juga langit yang mulai berubah jingga.

You Got ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang